Sultan Baabullah (1528-1583) memerintah Kesultanan Ternate pada periode
1570-1583. Beliau merupakan Sultan yang paling dikenal di dalam sejarah
Ternate karena peran besarnya dalam perjuangan melawan penjajah Portugis.
Selain itu di bawah kepemimpinannya Kesultanan Ternate mencapai puncak
kejayaannya, sehingga beliau dijuluki dengan "Penguasa 72 Pulau".
Wilayah Kesultanan Ternate pada masa pemerintahannya mencakup banyak pulau di
Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Bahkan Kesultanan Ternate punya pengaruh besar
ke banyak wilayah, mencapai Bima (Sumbawa bagian timur), Solor (Lamaholot),
Mindanao, Raja Ampat dan lainnya.
Masa Muda Sultan Baabullah
Baabullah disebutkan lahir pada tahun 1528, adapun menurut catatan Portugis
beliau lahir pada tahun 1522. Ia adalah putra tertua atau setidaknya salah
satu yang tertua dari Sultan Khairun. Namanya saat masih anak-anak adalah
Kaicili Baab. Sejak kecil Ayahnya memberikan pendidikan keagamaan. Pangeran
Kaicili Baab dan saudara-saudaranya mendapatkan pemahaman ilmu agama dari
mubalig (ulama) secara intens.
Dengan bagitu bisa diketahui bahwa pihak Kesultanan Ternate punya perhatian
besar terhadap perkembangan dan ilmu agama Islam. Ayahnya sempat berencana
mengirim Kaicili Baab ke Kolese Santo Paulo di Goa, India, akan tetapi
mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk mengajarkan serta memantau
perkembangan Kaicili Baab secara langsung.
Saat remaja, Kaicili Baab tumbuh menjadi seorang yang ksatria dan pemberani,
berkali-kali ia bergabung ke dalam barisan pasukan Ternate dan memimpin
berbagai ekspansi Ternate ke sejumlah wilayah di Sulawesi. Kaicili Baab sering
menemani ayahnya kemana-mana, bahkan termasuk saat ayahnya diasingkan untuk
sementara waktu ke Goa pada tahun 1545-1546. Beliau sangat dekat dengan
ayahnya, bahkan saat masih muda sudah berperan untuk membantu ayahnya
menjalankan roda pemerintahan Kesultanan Ternate.
Ia pernah mendampingi ayahnya saat prosesi penandatanganan surat perjanjian
vasalisasi Ternate kepada Portugis pada tahun 1560. Disebutkan bahwa surat
perjanjian antara Portugis dan Kesultanan Ternate tersebut masih ada hingga
masa sekarang, bahkan itu surat bersejarah tertua dengan stempel kesultanan
yang masih ada.
Ternate pada masa itu merupakan pusat perdagangan cengkeh, akan tetapi
keberadaan Portugis membuat Kesultanan Ternate tidak bisa berbuat banyak,
dimana Portugis memiliki militer dan persenjataan yang lebih unggul,
menyebabkan Kesultanan Ternate tidak berani berbuat macam-macam terhadap
dominasi Portugis.
Kesultanan Ternate lebih memilih jalur damai dengan pihak Portugis, akan
tetapi lama kelamaan kelakuan pihak Portugis mulai semena-mena dan menjadi
tidak disukai oleh penduduk setempat. Tapi apa daya, Sultan Khairun yang pada
masa itu memimpin tidak bisa berbuat banyak dan berusaha tetap menjaga
hubungan damai dengan pihak Portugis.
Perseteruan antara pihak Ternate dan Portugis mulai terjadi pada tahun
1560-an, diawali dengan Muslim di Ambon meminta bantuan kepada Sultan Khairun
karena para pendatang dari Eropa mulai berulah. Para pendatang dari Eropa
tersebut punya misi untuk mengkristenkan wilayah Ambon. Maka dengan tanggap
Sultan Khairun mengirim armada perang di bawah pimpinan Kaicili Baab untuk
mengepung lokasi tersebut pada tahun 1563.
Akan tetapi munculah tiga kapal perang Portugis sehingga pengepungan oleh
armada Kaicili Baab tidak bisa dilanjutkan. Posisi Portugis adalah membela
para misionaris Eropa tersebut karena Portugis tidak mau dakwah Islamiyah
tersebar ke banyak wilayah.
Penyebaran agama Islam yang masif akan membuat orang-orang (rakyat) menjadi
sangat loyal terhadap Kesultanan, selain itu jiwa rakyat akan bersatu di atas
keimanan agama Islam sehingga sulit bagi Portugis untuk memecah belahnya.
Portugis tahu persis, kesuksesan dakwah Islamiyah akan menggoyahkan posisinya
di Nusantara.
Selain itu Portugis pun berusaha untuk menyebarkan agama Katolik di wilayah
Manado, Kaidipang, Toli-Toli dan Pulau Siau. Walaupun terjadi pasang surut
dalam hubungannya, Ternate dan Portugis berusaha untuk tetap menjaga hubungan
damai karena saling menguntungkan kedua belah pihak.
Pada sebuah kejadian di tahun 1569, Portugis melakukan ekspedisi ke wilayah
Filipina, pihak Ternate diminta untuk ikut serta, maka Kaicili Baab berangkat
dengan armadanya walaupun sebenarnya pihak Ternate tidak begitu antusias
dengan ekpedisi tersebut, dan benar saja Kaicili Baab mengubah arah armadanya
di tengah perjalanan untuk melakukan misi lain.
Dengan begitu Kaicili Baab memisahkan diri dari ekspedisi tersebut, dampaknya
ekspedisi Portugis kekurangan kekuatan dan berakhir dengan kegagalan. Sultan
Khairun secara diam-diam tentunya senang dengan kegagalan Portugis tersebut,
karena jangan sampai Portugis mempunyai wilayah jajahan yang luas di Nusantara
yang membuat Portugis semakin mendominasi dan sulit diusir dari timur
nusantara.
Kesultanan Ternate hanya karena terpaksa saja mau menjalin hubungan damai
dengan pihak Portugis, bahkan Kaicili Baab menginginkan kontrontasi dengan
Portugis, sehingga dirinya menasehati ayahnya (Sultan Khairun) agar jangan
berlemah lembut terhadap Portugis.
Sultan Khairun berusaha untuk meningkatkan kekuatan militer, pengaruh dan
ekonomi Kesultanan Ternate. Sehingga dengan berjalannya waktu posisi
Kesultanan Ternate semakin kuat terhadap wilayah-wilayah sekitarnya, tentunya
pihak Portugis khawatir akan hal ini dan tidak akan tinggal diam. Bahkan
pengaruh Ternate sampai ke wilayah Halmahera, wilayah yang berada di bawah
kontrol Portugis.
Selain itu posisi Kesultanan Ternate yang menguasai jalur laut atau
transportasi, sehingga pihak Ternate bisa saja menutup suplai bahan pangan dan
barang-barang penting lain dari sebuah wilayah ke wilayah Portugis. Terjadi
ketegangan antara Ternate dan Portugis, pada tahun 1570 pihak Portugis melalui
Kapten Diogo Lopes de Mesquita melakukan rekonsiliasi dengan Sultan Khairun,
tapi sayang tidak menemui titik temu, sehingga tidak berhasil menurunkan
ketegangan antar kedua belah pihak.
Portugis akhirnya melakukan tindakan licik dan memalukan, pihak Portugis
melalui Lopes de Mesquita mengundang Sultan Khairun untuk kembali bernegoisasi
dan pihak Portugis pun telah memberikan jaminan keamanan. Akan tetapi Portugis
berkhianat dengan membunuh Sultan dan utusan dari Ternate, itu artinya
Portugis telah melanggar kode etik Internasional yang berlaku saat itu. Kode
etik hubungan Internasional saat itu yaitu para utusan atau duta besar yang
datang harus dihormati dan dijamin keamanannya sehingga tidak boleh
ditumpahkan darahnya.
Jasad Sultan Khairun Jamil berhasil ditemukan dan diangkat dari lautan dalam
kondisi mengenaskan, dimana terdapat banyak luka tusukan di jasad Sultan
Khairun. Dirinya tidak menyangka undangan perdamaian dari Lopez de Mesquita
(Gubernur Portugis di Ternate) adalah jebakan semata. Disebutkan bahwa jasad
Sultan Khairun dibopong sendiri oleh anaknya, Kaicili Baab.
Mengenai kronologi pembunuhan terhadap Sultan Khairun, bahwa saat Sultan
sedang berbincang-bincang dengan Lopez de Mesquita, tiba-tiba Antonio Pimental
(keponakan gubernur) muncul dari belakang dan dengan cepat menusuk Sultan
hingga tersungkur bersimbah darah. Setelah itu jasadnya dibuang ke laut pada
malam hari.
Beberapa jam setelah jasad Sultan Khairun ditemukan, maka para pemuka
Kesultanan Ternate bersepakat untuk mengangkat Pangeran Kaicili Baab menjadi
Sultan Ternate dengan gelar Sultan Baabullah Datu Syah. Segera disiapkan
serangan besar-besaran ke wilayah-wilayah Portugis, Sultan juga meminta
bantuan para penguasa di Makassar, Jawa hingga Sumatera.
Sultan Khairun merupakan masalah besar bagi Portugis dalam bidang
perdagangan maupun penyebaran agama Katolik, dimana Portugis menganggap Sultan
Khairun sebagai orang yang bisa menghambat keinginan Portugis untuk menguasai
atau memonopoli perdagangan rempah-rembah. Akhirnya Portugis mengambil
keputusan untuk melakukan pembunuhan terhadap Sultan Khairun sehingga Ternate
tidak lagi memiliki pemimpin yang hebat, demikian menurut anggapan
Portugis.
Pada kenyataannya penerus Sultan Khairun yaitu Sultan Baabullah memiliki kemampuan kepemimpinan yang sangat baik dan juga lebih berani. Bahkan kebijakan pertama Sultan Baabullah adalah menyatakan perang terhadap Portugis. Enam juanga (perahu besar) dikirim ke Hitu (Ambon) untuk menghalau kedatangan pasukan bantuan Portugis ke Ternate, sebab disaat bersamaan pasukan Sultan Baabullah sedang mengepung benteng Gamlamo milik Portugis. Pasukan ‘Enam juanga’ bergerak hingga ke Hitu, tapi ternyata benteng Hitu kosong melompong, tidak ada pasukan loyalis Portugis disana. Pemimpin benteng di Hitu yaitu Duarte de Menezez lebih memilih menyingkir bersama pasukannya ke Leitimor, Ambon.
Di benteng Ternate pasukan Portugis masih bertahan, pemimpin benteng adalah Diego Lopez de Mesquita. Sebenarnya Sultan Baabullah tetap membuka pintu perdamaian untuk Portugis, beliau menyurati Raja Portugis di Lisbon meminta agar keberadaan orang-orang Portugis ke wilayah timur Nusantara hanya untuk berdagang, Sultan juga meminta agar orang-orang Portugis menghentikan upaya menguasai wilayah-wilayah di timur Nusantra, jika syarat itu dipatuhi maka hubungan Ternate dan Portugis akan kembali pulih. Akan tetapi Portugis tidak mau memenuhinya, Portugis secara diam-diam memindahkan de Mesquita ke Goa. Pada 1579, dalam perjalanan menuju Goa, de Mesquita terbunuh oleh pasukan Gresik, sekutu Ternate.
Pada kenyataannya penerus Sultan Khairun yaitu Sultan Baabullah memiliki kemampuan kepemimpinan yang sangat baik dan juga lebih berani. Bahkan kebijakan pertama Sultan Baabullah adalah menyatakan perang terhadap Portugis. Enam juanga (perahu besar) dikirim ke Hitu (Ambon) untuk menghalau kedatangan pasukan bantuan Portugis ke Ternate, sebab disaat bersamaan pasukan Sultan Baabullah sedang mengepung benteng Gamlamo milik Portugis. Pasukan ‘Enam juanga’ bergerak hingga ke Hitu, tapi ternyata benteng Hitu kosong melompong, tidak ada pasukan loyalis Portugis disana. Pemimpin benteng di Hitu yaitu Duarte de Menezez lebih memilih menyingkir bersama pasukannya ke Leitimor, Ambon.
Di benteng Ternate pasukan Portugis masih bertahan, pemimpin benteng adalah Diego Lopez de Mesquita. Sebenarnya Sultan Baabullah tetap membuka pintu perdamaian untuk Portugis, beliau menyurati Raja Portugis di Lisbon meminta agar keberadaan orang-orang Portugis ke wilayah timur Nusantara hanya untuk berdagang, Sultan juga meminta agar orang-orang Portugis menghentikan upaya menguasai wilayah-wilayah di timur Nusantra, jika syarat itu dipatuhi maka hubungan Ternate dan Portugis akan kembali pulih. Akan tetapi Portugis tidak mau memenuhinya, Portugis secara diam-diam memindahkan de Mesquita ke Goa. Pada 1579, dalam perjalanan menuju Goa, de Mesquita terbunuh oleh pasukan Gresik, sekutu Ternate.
Perjuangan Sultan Baabullah
Pembunuhan Sultan Khairun oleh Portugis secara licik tentu membuat marah
rakyat Ternate serta raja-raja Maluku lainnya. Para dewan dan petinggi Ternate
bersama dengan sangaji (penguasa daerah) bersepakat untuk mengangkat Kaicili
Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya, dan diberikan gelar Sultan Baabullah
Datu Syah.
Perkumpulan tersebut juga mengubah arah kebijakan Kesultanan Ternate yang
awalnya bersikap lembek dalam menghadapi tingkah laku buruk Portugis, menjadi
lebih berani untuk berkonfrontasi melawan penjajah Portugis.
Para petinggi Kesultanan berikrar untuk tidak takut terhadap Portugis, selain
itu Sultan Baabullah punya ambisi besar yaitu berperang melawan Portugis demi
menegakkan kembali agama Islam di Maluku, menghentikan pengaruh buruk Portugis
di kawasan, hingga keinginan untuk mengusir penjajah Portugis dari kawasan.
Benar saja, setelah naik tahta, Sultan Baabullah menyatakan perang terhadap
Portugis, akan tetapi Sultan melihat bahwa militer Portugis sangat kuat
sehingga perlu adanya tindakan khusus agar Kesultanan Ternate bisa mengimbangi
kekuatan Portugis.
Sultan Baabullah menikahi saudari Sultan Gapi Baguna dari Tidore, sehingga
hubungan Ternate dan Tidore menjadi erat. Sultan juga meminta beberapa raja di
Maluku untuk berhenti berseteru atau berselisih, dan fokus untuk melawan
dominasi Portugis. Sultan meminta agar kerajaan-kerajaan di sekitar mau
membantu melawan Portugis, selain itu juga meminta bantuan kepada sejumlah
penguasa daerah di sekitar Maluku.
Sultan Baabullah sangat menginginkan agar Lopes de Mesquita yang telah
berkhianat dan membunuh Sultan Khairun dihukum atas perbuatannya. Pertempuran
besar pun akhirnya pecah, tidak butuh waktu lama pasukan Kesultanan Ternate
berhasil menembus pertahanan benteng-benteng Portugis seperti benteng Tolucco,
Santo Pedro dan Santa Lucia. Benteng-benten tersebut berhasil dikuasai pasukan
Ternate.
Disebutkan bahwa perang yang dikobarkan Sultan bernama ‘perang pembebasan
negeri’ yang melibatkan 2000 armada kapal tempur beserta lebih dari 120.000
prajurit.
Benteng yang belum dapat ditaklukan adalah benteng São João Baptista (Lopes de
Mesquita berada di benteng tersebut), itu adalah pertahanan terakhir Portugis
di wilayah Ternate. Akhirnya diputuskan untuk mengepung benteng tersebut,
sehingga orang-orang di dalam benteng terputus dengan dunia luar, khususnya
pasokan dari luar tidak bisa masuk ke dalam benteng.
Sultan Baabullah yang langsung mengkomando pasukan untuk mengepung benteng São
João Baptista, Sultan tidak mengizinkan suplai makanan dari luar bisa masuk ke
dalam benteng kecuali sejumlah kecil sagu. Kebijakan Sultan lainnya yaitu
memperbolehkan orang-orang Ternate bertemu dengan penduduk di dalam benteng,
itu karena banyak penduduk asli Ternate yang memiliki hubungan kekerabatan
dengan Portugis melalui pernikahan.
Bersamaan dengan pengepungan, Sultan Baabullah juga mengirim pasukan ke
wilayah-wilayah yang menjadi pusat misi Yesuit di Halmahera. Pada 1571 armada
Ternate di bawah pimpinan Kapita Kalasinka menyerang Ambon, banyak penaklukan
yang dilakukan oleh Sultan Baabullah, seperti menguasai wilayah Hoamoal (di
Seram), Kelang, Ambelau, Manipa dan Boano.
Pasukan Portugis mati-matian untuk bisa mempertahankan bentengnya, disamping
itu pihak Portugis sudah kehilangan jalur perdagangan cengkeh yang sebelumnya
dikuasai. Beberapa bala bantuan pasukan Portugis adalah para pribumi yang
masuk ke agama Katolik. Tugas para pribumi katolik itu adalah menghalau
gempuran pasukan Kesultanan Ternate di Pulau Buru, tapi pasukan katolik
pribumi tersebut berhasil dikalahkan oleh pasukan Kesultanan Ternate.
Pada 1575 sudah banyak wilayah-wilayah Portugis di Maluku yang berhasil
dikuasai kembali oleh Kesultanan Ternate, beberapa suku-suku kecil yang pro
kepada Portugis posisinya semakin terjepit. Dengan begitu posisi Kesultanan
semakin kuat dan mendominasi, hanya saja benteng São João Baptista belum dapat
ditembus dan masih dikepung.
Pengepungan berlangsung sangat lama, sehingga orang-orang Portugis di dalam
benteng benar-benar mengalami kesulitan hidup. Sultan Baabullah menawarkan
pihak Portugis untuk menyerah dan berjanji memberikan jaminan keamanan serta
kapal transportasi sekaligus bekal (bahan pangan) untuk menuju Ambon. Adapun
penduduk benteng yang pribumi boleh untuk tetap tinggal dengan syarat tunduk
dan tidak memberontak terhadap Kesultanan Ternate.
Pihak Portugis menyetujui tawaran dari Sultan Baabullah, sehingga orang-orang
Portugis keluar dari benteng dan meninggalkan Ternate, Sultan menepati
janjinya untuk memberikan jaminan keamanan dan memfasilitasi perjalanan
orang-orang Portugis ke Ambon. Bahkan Sultan masih memperbolehkan orang-orang
Portugis menginjakan kakinya kembali di tanah Ternate untuk berdagang cengkeh.
Portugis telah berkhianat dan membunuh Ayahnya, tentunya Sultan Baabullah
sangat pantas untuk murka kepada Portugis, akan tetapi saat beliau berhasil
mengalahkan Portugis, beliau tidak melakukan pembantaian terhadap orang-orang
Portugis. Bahkan sebuah kapal Portugis dari Melaka diizinkan masuk untuk
membawa orang-orang Portugis yang masih tersisa di Ternate, untuk dibawa ke
Ambon, Melaka, Solor maupun Timor.
Setelah berhasil mengambil alih benteng São João Baptista, Sultan Baabullah
menjadikannya sebagai benteng pertahanan sekaligus istana kediamannya, mungkin
karena posisinya yang lebih strategis. Sultan juga merenovasinya sehingga
benteng tersebut memiliki pertahanan yang lebih kuat dibanding sebelumnya,
nama benteng juga diganti menjadi Gammalamo.
Salah satu hal yang dipuji dari Sultan Baabullah adalah bersikap tenang
dengan tidak terburu-buru membuat sebuah keputusan, hal ini terlihat saat
pasukan Sultan mengepung benteng São João Baptista, dimana Sultan tidak
terburu-buru untuk mengambil keputusan menyerbu benteng, agar tidak terjadi
banyak pertumpahan darah dipilihlah opsi untuk mengepung benteng tanpa adanya
penyerbuan masuk ke dalam benteng.
Keputusan brilian ini diambil karena Sultan berpikir bahwa banyak orang-orang Ternate yang telah menikah dengan orang-orang Portugis di dalam benteng, sehingga sebagian orang di dalam benteng merupakan keturunan dari orang-orang Ternate sendiri. Sultan benar-benar sangat mempertimbangkan keselamatan mereka di dalam keputusannya ini. Pertimbangan lain Sultan yaitu mengenai persenjataan pasukan Portugis yang lebih lengkap.
Pasukan Portugis yang ada di dalam benteng jumlahnya tidak lebih dari 1000 pasukan atau bahkan kurang dari itu, adapun pasukan Sultan Baabullah yang sedang mengepung benteng berjumlah puluhan ribu pasukan gabungan dari Ternate dan wilayah lainnya. Pasukan Ternate memang jumlahnya jauh lebih banyak, tapi persenjataan Portugis lebih lengkap. Sehingga tindakan terbaik adalah mengisolasi benteng São João Baptista dari dunia luar, pasokan makanan hanya sedikit yang diizinkan masuk, yang dengan begitu efektif untuk menurunkan fisik dan moral mereka.
Pengepungan berlangsung selama lima tahun, yang setelah itu orang-orang Portugis menyerah pada 26 Desember 1575. Dengan begitu benteng terakhir Portugis di Ternate berhasil dikalahkan tanpa perlu banyak-banyak melakukan pertumpahan darah. Ahli sejarah menyebutkan bahwa sikap Sultan Baabullah terhadap Portugis sangat baik dan toleran, tidak ada pikiran untuk membantai orang-orang Portugis. Setelah pasukan Portugis dikalahkan maka perdagangan bebas di wilayah Maluku dan sekitarnya kembali bisa dibuka. Sebab sebelumnya para pedagang dari Jawa, Arab, Makassar, Melayu dan Cina selalu dikejar-kejar Portugis sehingga tidak bisa berdagang, setelah Portugis diusir para pedagang dari berbagai wilayah bisa melakukan perdagangan dengan aman.
Keputusan brilian ini diambil karena Sultan berpikir bahwa banyak orang-orang Ternate yang telah menikah dengan orang-orang Portugis di dalam benteng, sehingga sebagian orang di dalam benteng merupakan keturunan dari orang-orang Ternate sendiri. Sultan benar-benar sangat mempertimbangkan keselamatan mereka di dalam keputusannya ini. Pertimbangan lain Sultan yaitu mengenai persenjataan pasukan Portugis yang lebih lengkap.
Pasukan Portugis yang ada di dalam benteng jumlahnya tidak lebih dari 1000 pasukan atau bahkan kurang dari itu, adapun pasukan Sultan Baabullah yang sedang mengepung benteng berjumlah puluhan ribu pasukan gabungan dari Ternate dan wilayah lainnya. Pasukan Ternate memang jumlahnya jauh lebih banyak, tapi persenjataan Portugis lebih lengkap. Sehingga tindakan terbaik adalah mengisolasi benteng São João Baptista dari dunia luar, pasokan makanan hanya sedikit yang diizinkan masuk, yang dengan begitu efektif untuk menurunkan fisik dan moral mereka.
Pengepungan berlangsung selama lima tahun, yang setelah itu orang-orang Portugis menyerah pada 26 Desember 1575. Dengan begitu benteng terakhir Portugis di Ternate berhasil dikalahkan tanpa perlu banyak-banyak melakukan pertumpahan darah. Ahli sejarah menyebutkan bahwa sikap Sultan Baabullah terhadap Portugis sangat baik dan toleran, tidak ada pikiran untuk membantai orang-orang Portugis. Setelah pasukan Portugis dikalahkan maka perdagangan bebas di wilayah Maluku dan sekitarnya kembali bisa dibuka. Sebab sebelumnya para pedagang dari Jawa, Arab, Makassar, Melayu dan Cina selalu dikejar-kejar Portugis sehingga tidak bisa berdagang, setelah Portugis diusir para pedagang dari berbagai wilayah bisa melakukan perdagangan dengan aman.
Kapal-kapal dagang dari Melaka diperbolehkan berlabuh dan melakukan
perdagangan di Ternate atas izin dan perlindungan dari Sultan Baabullah.
Selain itu Sultan memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap arus
perdagangan di kawasan, termasuk memastikan perdagangan dengan orang-orang
Eropa berjalan dengan baik, akan tetapi Sultan menghapus hak-hak istimewa
orang Eropa, sehingga pedagang-pedagang dari eropa diperlakukan sama rata
dengan pedagang-pedagang dari negeri lainnya, dan mereka diawasi dengan ketat.
Selain itu Sultan membuat peraturan yang cukup unik yaitu mewajibkan pendatang
dari Eropa yang singgah untuk melepaskan topi dan sepatu mereka, sebagai
simbol bahwa orang-orang Eropa harus menjaga sikapnya selama di Ternate dan
menghormati kedaulatan Kesultanan Ternate.
Kunjungan Francis Drake, Utusan Kerajaan Inggris
Pada 3 November 1579, Sultan Baabullah menerima kunjungan kenegaraan dari
Francis Drake yang diutus oleh Kerajaan Inggris. Saat itu Francis Drake
bersama armadanya sedang melakukan ekspedisi keliling dunia.
Dalam catatan sejarah, Francis Drake menggambarkan Sultan Baabullah sebagai
orang yang berperawakan tinggi besar, gemuk dan kuat, serta memiliki wajah
yang ramah dan tampilannya terlihat jelas sebagai seorang bangsawan. Selain
itu dia juga menggambarkan Sultan Baabullah sebagai figur yang dicintai
rakyatnya.
Sultan Baabullah menerima dengan baik utusan dari Kerajaan Inggris tersebut,
Sultan setuju untuk menjalin hubungan dengan pihak Inggris, bahkan meminta
Inggris untuk membantu Kesultanan Ternate dalam menangkal pengaruh Portugis.
Francis Drake memilih Ternate sebagai lokasi yang dikunjunginya karena tahu
bahwa Kesultanan Ternate punya hubungan yang buruk dengan Portugis. Akan
tetapi Francis Drake menahan diri, sehingga tidak merespon permintaan Sultan
Baabullah.
Karena Inggris menolak permintaan bantuan dari Kesultanan Ternate, maka pihak
Ternate menolak permohonan hak dagang eksklusif bagi Kerajaan Inggris.
Disebutkan bahwa terjadi pedebatan antara Sultan dan Francis Drake, tatkala
Drake menolak kebijakan pajak perdagangan yang telah ditetapkan oleh Sultan
untuk hasil bumi Ternate. Penolakan Drake terhadap kebijakan tersebut membuat
Sultan murka.
Akhirnya kedua pihak berdamai tatkala Drake mengirim hadiah-hadiah dan
memutuskan untuk berjanji memberikan bantuan persenjataan kepada Kesultanan
Ternate. Setelah itu Francis Drake meninggalkan Ternate pada 9 November 1579
dengan membawa rempah-rempah cengkeh berkualitas tinggi.
Politik Luar Negeri Sultan Baabullah
Sultan Baabullah tidak hanya sibuk untuk mengurusi kebijakan dalam negeri,
tapi juga aktif untuk melakukan politik luar negeri, dan berusaha untuk
membangun persekutuan yang kuat dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Catatan
sejarah menyebutkan bahwa Kesultanan Ternate banyak membangun hubungan dengan
negeri-negeri di Nusantara.
Mayarakat yang ada di wilayah pesisir (pantai utara) Jawa menjadi sekutu utama
Kesultanan Ternate karena sama-sama bergama Islam. Pada tahun 1580 Sultan
Baabullah memimpin ekspedisi besar menuju beberapa lokasi di Sulawesi. Sultan
berjunkung ke wilayah Makassar dan bertemu dengan raja Gowa, Tunijallo,
sehingga terjadi persekutuan antara Kesultanan Ternate dan Kerajaan Gowa.
Sebagai tanda persahabatan antar kedua kerajaan, Sultan Baabullah membantu
renovasi Benteng Somba Opu di pantai timur Gowa. Disebutkan juga dalam
ekspedisi ini, armada Ternate berhasil menaklukkan wilayah Selayar yang
berlokasi di bagian selatan Sulawesi.
Kesultanan Ternate mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan
Baabullah. Di awal pemerintahannya, Sultan mengirimkan armada perang ke
wilayah Buru, Seram dan Ambon. Ekspedisi tahun 1580 juga berjalan dengan
sukses, negeri-negeri yang berlokasi di Sulawesi Utara berhasil ditaklukkan.
Beberapa siasat Sultan Baabullah yang menjadikan Kesultanan Ternate punya
pengaruh luas, selain kesuksesan dalam strategi peperangan, dilakukan juga
strategi interferensi dan politik perkawinan. Misalnya, Raja Humonggilu dari
Limboto yang sedang berseteru dengan Raja Pongoliwu dari Gorontalo, sehingga
Raja Humonggilu meminta bantuan Kesultanan Ternate.
Disinlah Sultan Baabullah menjalankan politiknya dengan bermain cantik,
disebukan bahwa Raja Humonggilu menikahi adik Baabullah, Jou Mumin. Disisi
lain, saudari dari raja yang dikalahkan (Raja Pongoliwu) dinikahkan dengan
seorang bangsawan Ternate.
Bahkan disebutkan bahwa Sultan Baabullah menikahi Owutango, seorang putri dari
Teluk Tomini. Sehingga dengan bantuan Owutango lah yang membuat Kesultanan
Ternate dapat menyebarkan agama Islam di kawasan tersebut dengan lebih mudah.
Pada ekspedisi yang sama, beberapa wilayah berhasil ditaklukan seperti Tiworo
(Sulawesi Tenggara), Banggai, Tobungku (Sulawesi Timur) dan Buton.
Bahkan pengaruh Kesultanan Ternate mencapai Kepulauan Banda yang merupakan
tempat penghasil pala, dan Solor yang menjadi gerbang untuk perdagangan
cendana di Timor. Pengaruh Ternate (entah pengaruhnya besar atau tidak) juga
mencapai Mindanao, Kepulauan Papua (Raja Ampat), Bima dan Kore di Sumbawa.
Selain itu ada beberapa wilayah yang diperintah oleh sangaji (gelar untuk
pemimpin) yang ditunjuk langsung oleh Sultan.
Di bawah kepemimpinannya, Kesultanan Ternate memiliki wilayah yang luas dan
pengaruhnya besar ke banyak wilayah, karena hal inilah Sultan Baabullah
dijuluki sebagai "Penguasa 72 Pulau". Disebutkan juga bahwa pada masa tersebut
Kesultanan Ternate adalah negara terkuat dan termakmur di kawasan Nusantara
bagian timur. Sultan Baabullah memiliki armada berupa 2.000 kora-kora dan
135.000 tentara yang tersebar dari Sulawesi hingga Papua.
Selama ini Kerajaan Majapahit dengan duet tokohnya yang terkenal yaitu Hayam
Wuruk dan Gadjah Mada boleh-boleh saja disebut penguasa tersukses karena
menguasai sebagian besar wilayah Nusantara. Tapi setelah era Majapahit, tidak
ada lagi kerajaan di Jawa yang punya kedigdayaan sebesar itu, adapun di timur
nusantara berdiri Kesultanan Ternate yang begitu disegani di Nusantara dan
Dunia pada abad ke-16.
Dialah Sultan Baabullah yang membungkam kesombongan orang-orang Portugis,
selain itu beliau punya jasa besar terhadap tersebarnya Islam di timur
Nusantara, khususnya di wilayah-wilayah sekitar Kesultanan Ternate. Berkat
perjuangan Sultan Baabullah, Portugis gagal menjadikan timur Nusantara menjadi
mayoritas Katolik. Sebaliknya, Sultan bekerja keras agar dakwah Islamiyah bisa
tersebar cepat di timur Nusantara.
Banyak kerajaan yang bernaung di bawah panji-panji Kesultanan Ternate, selain
itu banyak wilayah yang menyatakan loyalitas maupun bergabung dengan
Kesultanan Ternate sehingga Sultan Baabullah menempatkan sangaji (semacam
kepala daerah) disana. Diantaranya di wilayah Timor Leste, Bali, Nusa Tenggara
Barat, NTT dan lainnya. Bahkan Sultan punya perwakilan yang ditempatkan di
Sumatera, Jawa hingga Papua.
Khusus di Papua, banyak wilayah yang berhasil dirangkul Sultan Baabullah
seperti Raja Ampat, Jayapura, Sorong, Biak dan Merauke. Hal yang menakjubkan,
wilayah yang ditaklukan Kesultanan Ternate hingga mencapai Kepulauan Marshall
di kawasan Mikronesia dan Mindanao di Filipina. Ahli sejarah Belanda,
Valentijn pernah mencoba meneliti 72 wilayah yang berada di bawah naungan
Kesultanan Ternate.
Walaupun wilayah Kesultanan Ternate terlampau luas, tapi Sultan Baabullah
tetap membuka pintu untuk bangsa Eropa, bahkan keinginan Sultan untuk
merangkul semua bangsa seperti Eropa, Arab, China, Turki dan lainnya.
Dalam kepemimpinannya, Sultan Baabullah berpegang teguh untuk menjalankan
keinginan ayahnya untuk menjalin hubungan erat dengan negeri-negeri Muslim di
segala penjuru. Sekitar tahun 1570 terjadi perlawanan serempak terhadap
wilayah jajahan Portugis oleh negeri-negeri Muslim di India Selatan dan Aceh,
dimana Kesultanan Turki Usmani memberikan dukungan besar untuk negeri-negeri
Muslim tersebut. Melihat negeri-negeri Muslim di banyak wilayah di dunia
kompak untuk melakukan perlawanan terhadap Portugis, Sultan Baabullah pun
semakin semangat untuk bangkit melawan Portugis.
Catatan sejarah menyebutkan adanya kontak erat antara Ternate dan tokoh-tokoh
Muslim dari Aceh, Melayu bahkan Mekkah.
Dikalahkannya Portugis sehingga terbukanya kembali bandar Ternate untuk
perdagangan bebas yang membangkitkan jalur-jalur dagang lama mempertalikan
wilayah-wilayah Asia sejak abad ke-15. Penyebaran Islam berjalan sangat pesat
pada masa pemerintahan Sultan Baabullah.
Pada Juli 1583 Sultan Baabullah wafat. Sampai kini tidak diketahui
dengan jelas penyebab kematiannya Sultan, para ahli sejarah masih
memperdebatkannya, tapi yang pasti Sultan Baabullah adalah pemimpin terbesar
di Ternate, Maluku bahkan Nusantara. Penerus Sultan Baabullah adalah putranya
Said Barakati (memerintah 1583-1606). Sultan Said melanjutkan upaya menangkal
agresivitas Portugis di timur Nusantara, hingga beberapa kali terjadi
pertempuran.
Sultan Baabullah memperoleh gelar Pahlawan Nasional secara resmi pada 10
November 2020. Dipilihnya Sultan Baabullah karena perjuangan dan jasanya yang
besar untuk melawan kesewenang-wenangan Portugis di Maluku. Sebenarnya rencana
menjadikan Sultan Baabullah sebagai Pahlawan Nasional sudah digaungkan sejak
November 1996 saat dilakukan diskusi ilmiah oleh tim gabungan dari Dirjen
Kebudayaan Kemdikbud dan Pemda Provinsi Maluku, pertemuan tersebut dihadiri
para arkeolog dan sejarawan besar, beberapa nama rekomendasi keluar yang salah
satunya Sultan Baabullah.
Akan tetapi rekomendasi tersebut baru mulai ditindaklanjuti pada 2012,
sehingga mulai sering adanya penerbitan dan seminar mengenai perjuangan Sultan
Baabullah, salah satunya sebuah seminar di Universitas Indonesia pada Desember
2019 yang dihadiri sejarawan Bondan Kanumoyoso dan sejarawan lainnya.
Sejarawan Bondan menyatakan Sultan Baabullah sebagai pembangun kekuatan untuk
membendung dominasi Portugis di Maluku, kekuatan lokal dibangun dengan taktik
kemaritiman yang kuat. Sehingga beliau memuji Sultan Baabullah sebagai sosok
yang menginspirasi sejarah kemaritiman Bangsa Indonesia.
Tulisan Terkait: