Sejarah Pangeran Diponegoro (1785-1855), Perang Jawa Melawan Belanda

Pangeran Diponegoro (1785-1855)
- Lahir: Yogyakarta, 11 November 1785.
- Wafat: Makassar, 8 Januari 1855 (pada umur 69 tahun).

Pangeran Diponegoro diriwayatkan juga memiliki nama lain yaitu Pangeran Harya Dipanegara. Beliau sudah umum diketahui sebagai pahlawan nasional, yang telah mati-matian berjuang dalam usaha memenangkan Perang Jawa pada 1825-1830 menghadapi kesewenang-wenangan Belanda.

Gambar Pangeran Diponegoro
Gambar: Lukisan Pangeran Diponegoro

Sejarah Pangeran Diponegoro


Berkat usaha keras di sepanjang hidupnya, maka sangat pantas jika banyak wilayah di NKRI yang mempunyai nama Jalan Pangeran Diponegoro. Bahkan di zaman Presiden Soekarno, untuk mengingat perjuangan heroiknya maka diadakan acara besar peringatan 100 tahun wafatnya beliau, supaya masyarakat meneladani kerja keras, perjuangan dan keberanian beliau.

Itu artinya, sang pangeran adalah seorang yang sangat dihormati dan dimuliakan dari masa ke masa. Pangeran Diponegoro dinyatakan secara resmi dalam catatan negara sebagai pahlawan nasional pada 1973.

Bahkan pada 2013, UNESCO membuat keputusan bahwa Babad Diponegoro menjadi salah satu Warisan Ingatan Dunia. Apa itu Babad Diponegoro? itu adalah naskah kuno yang ditulis Pangeran Diponegoro, itu ditulisnya saat dibuang Belanda ke Manado pada 1832.

Itu artinya, karya sang pangeran diciptakan disaat masa-masa pengasingan. Babad Diponegoro berisi tulisan perjalanan hidup beliau, puisi dan lainnya. Yang jika itu dikumpulkan sekarang ternyata bisa lebih dari 1000 lembar halaman folio.

Diponegoro lahir dari ibu bernama R.A. Mangkarawati, adapun ayahnya yakni Gusti Raden Mas Suraja, yang saat naik tahta bergelar Hamengkubuwana III. Pangeran Diponegoro dikenal sebagai seseorang yang cerdik sejak masih muda, dan berpengetahuan luas dalam hal umum maupun ilmu keislaman.

Ketimbang hidup bersenang-senang di keraton, Pangeran Diponegoro lebih memilih menuntut dan mengambil disiplin-disiplin ilmu agama, diceritakan juga bahwa sang pangeran seringkali berbaur dengan rakyat biasa.


Pangeran Diponegoro Muda

Diponegoro di masa muda dikenal dengan nama Raden Mas Antawirya dan setelah dewasa lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro. Sebuah tradisi yang sudah turun-temurun di keraton, bahwa Diponegoro sebagai anak pertama raja, maka dirinya yang paling berhak suatu saat nanti menjadi seorang raja di tanah jawa.

Walaupun Pangeran Diponegoro seorang bangsawan besar, akan tetapi masa kanak-kanak dan remajanya sering dihabiskan di luar istana, keberadaannya sangat dicintai oleh Ratu Ageng yang dikenal agamis. Ratu Ageng adalah istri dari Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Bahkan Ratu Ageng mengasuh Pangeran Diponegoro dan memberikan pendidikan yang baik. Diponegoro sejak muda dikenal sebagai seseorang dengan karakter yang menonjol dan spesial, dirinya mudah bergaul, berjiwa rendah hati, dicintai berbagai kalangan, serta dekat dengan para ulama.

Pangeran Diponegoro adalah seorang keturunan darah biru yang begitu dihormati dan memiliki kedudukan tinggi di tengah masyarakat, walau begitu beliau dikenal punya sifat sederhana dan jauh dari yang namanya bermewah-mewahan.

Banyak sejarawan menyebutkan tentang kelaziman dan keseharian Pangeran Diponegoro yang ternyata begitu kontras dengan para ningrat pada umumnya, Pangeran Diponegoro tak membiasakan dirinya berlama-lama berada di istana.

Setelah dewasa beliau dijadikan pewaris tahta, dengan begitu ia punya peran vital dalam mengurus kebijakan dan ketatanegaraan di kerajaan yang dipimpin ayahnya itu.

Pangeran Diponegoro mulai bekerja mengurusi perpolitikan kerajaan semenjak zaman pemerintahan Hamengkubuwono III.

Hanya saja, karena beliau memang semenjak kecil sudah terbiasa atau telah sering bergaul di luar istana, dimana kerap melihat keadaan rakyat jelata secara langsung, sehingga beliau tahu persis bagaimana penderitaan rakyat akibat kezholiman karena aturan yang dibuat seenak jidat oleh pemerintah kolonial belanda maupun keraton kasultanan yogyakarta.

Keraton maupun Belanda berkolaborasi dalam melahirkan prinsip-prinsip besaran pajak yang mencekik rakyat dan berbagai kezholiman lainnya. Dengan demikian, Pangeran Diponegoro menilai pihak Keraton maupun Belanda harus bertanggung jawab terhadap penderitaan rakyat.

Karena hal inilah menjadikan sang pangeran murka terhadap kelakuan Belanda, dan dia juga berambisi untuk merombak aturan Keraton agar tak mendzolimi rakyat dan tak berpihak kepada Belanda.

Tekad besar dan mulia yang dimiliki sang pangeran bukan lain karena kebiasaannya yang sering bertemu dan memperhatikan kondisi rakyat, bahkan hingga lapisan bawah, sehingga sang pangeran bisa merasakan dan memahami penderitaan rakyat.

Selama ini pihak Keraton lebih memilih tunduk dan menuruti kemauan Belanda ketimbang harus berperang melawan Belanda. Pihak Belanda juga kerap mencaplok wilayah kekuasaan Keraton, padahal pihak Keraton dan Belanda seringkali melakukan kerja sama.

Jika kepada para pembesar atau penjabat keraton saja Belanda berani kurang ajar dan seenaknya, maka bagaimana lagi sikap Belanda kepada rakyat biasa nusantara yang saat itu umumnya miskin, mereka ditindas dengan tanpa ampun dan belas kasih oleh Belanda.

Situasi Keraton mengalami degradasi integritas disebabkan berbagai strategi efektif dari pihak Belanda. Dimana pihak Belanda dengan mengeluarkan seluruh tenaga, pikiran dan harta yang banyak, berusaha untuk terus memasukan racun-racun pemikiran yang merusak masyarakat dan generasi pemuda di wilayah kekuasaan Keraton, Belanda berusaha membuat Keraton selalu dalam situasi tidak kondusif sehingga mudah ditundukan.

Diponegoro kecil dikirim ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, yaitu Ratu Ageng yang agamis. Di tempat tersebut, yang menjadikan sang pangeran pewaris tahta tersebut terbiasa bergaul dengan para petani dan masyarakat di sekitarnya, selain itu juga sering duduk bersama-sama dengan para penuntut ilmu agama di sebuah pesantren yang masih disekitaran lokasi tersebut.

Hanya saja, sang pangeran menutupi identitas aslinya saat bergaul dengan rakyat biasa dan saat menuntut ilmu agama Islam.

Dari hasil didikan luar biasanya ini, dimana sang pangeran sering berada bersama orang-orang hebat, bijak dan beberapa ulama. Maka beliau setelah dewasa, terjadilah hal luar biasa yang menjadi 'cerita emas' dan tidak akan pernah dilupakan, Diponegoro menolak gelar untuk menjadi penerus raja, lalu dengan besar hati memberikannya kepada adiknya, yaitu R.M Ambyah.

Hal itu apalagi karakter dan prinsip beliau yang tak mau tunduk terhadap kesewenangan Belanda. Adapun situasi kala itu, sikap Keraton begitu lembek ke Belanda, bahkan banyak pejabat elite Keraton yang penakut sehingga memilih bersekutu dengan 'penjahat' dari Eropa tersebut.


Meletusnya Perang Diponegoro (1825-1830)

Selaku individu yang sejak muda dibesarkan dengan norma jawa, beliau amat murka pada bangsa Belanda yang sering melecehkan norma Jawa, disamping juga sangat murka pada kelakuan Belanda yang banyak menyengsarakan rakyat jawa.

Juga kehidupan Diponegoro sejak kecil dekat dengan para ulama, sehingga kehidupan sehari-hari sang pangeran dihiasi dengan aturan-aturan syariat Islam, maka tak jarang di masa kini sang pangeran dikenang sebagai seorang pemimpin yang memiliki kedalaman ilmu agama. Beliau punya perhatian yang tinggi terhadap ilmu dan aturan agama.

Motivasi perjuangan Pangeran Diponegoro tak cuma karena mengenai tanah, kejayaan dan ingin membebaskan rakyat dari cengkraman Belanda, apalagi ada cerita hoax yang menyebutkan kemarahan beliau semata-mata karena Belanda menggusur kuburan keluarga keraton. Faktor kuburan sebenarnya hanyalah salah satu pemicu.

Ada sebuah cita-cita mulia beliau yakni menegakan Tauhid di Jawa, ini ternyata hal yang ditakutkan dan diwanti-wanti oleh Belanda.

Belanda berusaha menjalankan taktik dengan mengupayakan pembodohan ilmu agama terhadap rakyat jawa, banyak upaya yang dilakukan belanda dan tak sedikit modal yang harus dikeluarkan.

Sebab saat itu sedang tersebar dakwah tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ke seluruh penjuru dunia Islam, dakwah tersebut menyebabkan orang-orang Islam yang sedang dijajah bangsa eropa bangkit dan melakukan perlawanan.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali dakwah tauhid dalam masyarakat dan cara beragama sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. 

Keberadaan dakwah tauhid sangat memukul telak para penjajah eropa, karena menyebabkan kaum muslimin bangkit dan punya semangat keislaman berkali-kali lipat untuk berjuang melawan penjajah eropa. Kaum muslimin menjadi bangkit kembali dan semangat kepada ilmu-ilmu agama. 

Ketika pondasi keislaman sudah kuat di hati-hati kaum muslimin, membuat mereka memiliki izzah (harga diri), serta menolak untuk dijajah dan direndahkan.

Khususnya Imperialis Inggris yang menjajah 'segudang' negeri kaum muslimin yang merasa sangat khawatir terhadap penyebaran dakwah tauhid. Kaum muslimin menjadi bangkit saat berpegang teguh pada Tauhid dan syariat Islam. Sedangkan para penjajah ingin melemahkan kaum muslimin, dengan cara menjauhkan mereka dari ajaran Islam yang benar.

Dakwah tauhid juga menyebar ke Libya, yang menyebabkan kaum muslimin bangkit melawan penjajah Italia. Demikian juga di nusantara, dakwah tauhid menyebar ke Jawa dan Sumatera, sehingga timbulah perlawanan oleh orang-orang Sumatera yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol dan perlawanan oleh orang-orang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponogero.

Pangeran Diponegoro yang sejak kecil sungguh-sungguh mendalami agama Islam memimpin peperangan menghadapi Belanda dengan semangat perjuangan di jalan Allah.


Momen awal meletusnya peperangan adalah pengrusakan makam bangsawan karena Belanda ingin membuat jalan. Itu hanya pemicu peperangan, faktor utama peperangan karena dari dulu Pangeran Diponegoro sudah sempit hatinya dengan kesewenangan Belanda.

Melihat bahwa Belanda harus bertanggung jawab dan seharusnya diusir karena sudah sangat menyengsarakan rakyat. Selain itu sang pangeran punya harapan yang kuat supaya bisa menegakan tauhid dan syariat Islam.

Keputusan besar beliau yang berani menghadapi Belanda mendapatkan sambutan besar dari rakyat. Sang pangeran diberikan masukan dari pamannya yaitu GPH Mangkubumi agar menetapkan lokasi markas militer di Gua Selarong.

Diceritakan Pangeran Diponogero merupakan pribadi berprinsip kuat, bermental baja dan berkemauan keras. Kharisma-nya yang begitu memukau memberikan efek yang sangat besar di hati orang-orang, menjadikan lokasi perjuangan tersebar di puluhan kota.

Kharisma sang pangeran menjadikan banyak kubu mau bergabung yaitu termasuk banyak para pemuka, tokoh ataupun pemimpin daerah dengan pengaruh besar. Mereka menyatakan diri untuk sumpah setia dan berada di barisan beliau. Diantaranya yaitu Kiai Mojo dan SISKS Pakubuwono VI.

Pangeran Diponegoro ternyata punya anak dengan pengaruh luas yakni Ki Sodewa, yang amat loyal mendukung dan membela sang pemimpin perang Jawa.

Pasukan Diponegoro dijadikan sejumlah batalyon, yang diantaranya bernama batalyon Turkiya dan Arkiya. Beliau dengan para jenderalnya berdiskusi mengenai persiapan dan nantinya kondisi peperangan yang akan dijalani, sehingga diputuskan dijalankan metode perang gerilya.

Itu artinya para pasukan Jawa yang secara senjata (atau teknologi) lebih lemah bakal sering berpindah-pindah dengan mobilitas yang tinggi. Sehingga pasukan tidak hanya berdiam di satu tempat karena rentan untuk disergap dan dikepung oleh pasukan Belanda yang senjatanya jauh lebih canggih. Mobilitas tinggi diharapkan akan menyulitkan pihak Belanda.

Pusat pertahanan pernah berlokasi di Plered, yang dibangun dengan persiapan matang sehingga memiliki pertahanan yang sulit ditembus, tanggung jawab utama daerah ini diberikan ke Kerta Pengalasan.

Sistem atau strategi pertahanan yang dikembangkan begitu matang di Plered, mengakibatkan kandasnya invasi 'jumbo' yang begitu gencar dilakukan oleh pihak kolonial pada 9 Juni 1826.

Saat pasukan kolonial bergerak mundur dari Daksa yang mengarah ke wilayah Yogyakarta, serdadu Diponegoro dengan mendadak menerabas dan menghabisi banyak sekali pasukan kolonial.

Oktober 1826, beliau mengadakan operasi militer untuk menghancurkan konsentrasi militer Belanda di Gawok dan memperoleh hasil positif. Pada 17 November 1826, serdadu dikirim menuju Pengasih dengan tujuan memberikan pukulan kuat ke pasukan kolonial.

Adapun upaya dari pasukan kolonial yaitu menggembur Sambirata dengan kekuatan besar, tapi Diponegoro dapat meloloskan diri.

Disebabkan konflik yang amat alot dan panjang, sehingga disepakatilah gencatan senjata pada 10 Oktober 1827. Kemudian juga dilakukan perundingan, tapi tiada memberikan hasil.

Karena rakyat Jawa begitu mendukung perjuangan, sehingga Pangeran Diponegoro bisa dengan sangat gampang untuk memindahkan pusat komando. Pasukan kolonial terus memburu sang pangeran tapi tidak menemukan hasil.

Pasukan kolonial menghadapi masalah besar yaitu wabah penyakit berbahaya yang bisa menyebabkan kematian, diantaranya malaria. Hal ini berdampak pada kesehatan fisik maupun mental pasukan kolonial yang menurun.

Belanda lagi-lagi mengadakan gencatan senjata, tapi disaat yang sama Belanda melakukan perang urat syaraf dengan membuat 'segudang' berita palsu di beberapa daerah, tujuannya untuk merusak persatuan perjuangan rakyat Jawa.

Perang Diponegoro berjalan panjang sehingga dirasakan sangat berat, pertempuran pecah di banyak kota. Secara umum jalannya konflik cukup berimbang, sekalipun pihak kolonial memiliki senjata yang jauh lebih canggih. Akibat peperangan dengan kekuatan hampir setara, menyebabkan perang berjalan lama dan alot.

Umumnya taktik hit and run merupakan hal yang berkali-kali dilakukan. Perang ini menjadi pelopor awal dari bentuk perang modern yang melakukan banyak taktik peperangan, termasuk upaya psy war.

Disamping itu, pada pihak Diponogero dan Belanda pastinya punya banyak mata-mata untuk berusaha menemukan celah di pihak musuh.

Belanda belum juga sukses menangkap Diponegoro, bermacam-macam upaya terus dilancarkan, bahkan jika itu harus berkhianat. Dan tidak lupa, Belanda melakukan sayembara besar-besaran guna meringkus beliau, apapun kondisinya.

Belanda mengadakan 'revolusi strategi' saat Jenderal De Kock diberikan jabatan sebagai pemimpin tertinggi pasukan pada 1827. Dilancarkan strategi untuk menghambat mobilitas pasukan Diponegoro.

Salah satunya dilakukan taktik Benteng Stelsel, yaitu sumber daya Belanda dikerahkan untuk membuat benteng-benteng yang dilengkapi kawat berduri setelah pasukan kolonial berhasil menduduki wilayah yang sebelumnya berada di bawah kontrol pasukan Diponegoro. Hal ini efektif untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro.

Faktor kelelahan serta besarnya budget perang membuat perjuangan yang awalnya begitu luar biasa karena mampu mengimbangi kekuatan Belanda, kemudian mulai melemah.

Bahkan Kiai Mojo ditangkap Belanda pada 12 Oktober 1828 dan Sentot Prawirodirdjo ditangkap 4 hari kemudian, menyebabkan kekuatan pasukan pejuang Jawa mulai keropos, hal ini terjadi sejak akhir tahun 1828.

Pangeran Diponegoro terpaksa melakukan negosiasi guna memutuskan yang terbaik, dan pertemuan dilakukan beberapa kali. Hingga pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock melakukan penghiatan dengan memerintahkan bawahannya menyiapkan pasukan buat meringkus beliau. 

Sang Pangeran dengan besar hati mau untuk ditahan, tapi meminta agar sisa anggota pejuang dibebaskan. Diceritakan bahwa setelah minum teh dan menemui para pejuangnya, sang Pangeran lalu beranjak keluar untuk ditahan.

Pangeran Diponegoro dibawa oleh Belanda ke kota Batavia (Jakarta) pada 5 April 1830, sampai di Batavia pada 11 April 1830. Lalu beliau diasingkan dan sampai di Manado pada 3 Mei 1830.

Tahun 1834 dipindahkan ke Makassar sampai akhirnya meninggal pada 8 Januari 1855, sekitar jam tujuh pagi.

Pangeran Diponegoro merupakan sosok pahlawan yang begitu spesial, dimana dengan mudahnya beliau merelakan mahkota yang sudah di depan mata bakal diperolehnya, serta mencampakan nafsunya dari segala kemewahan untuk mewujudkan cita-cita yang mulia.

Banyak sejarawan yang menyebutkan dan memuji Pangeran Diponegoro karena mampu menjadikan para ulama, santri dan pemuka merapatkan barisan.

Banyak sejarawan yang menyatakan kekagumannya pada sosok Diponegoro, yang mampu menyatukan dan mengambil hati kaum santri. Padahal pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap kaum santri, yang bahkan sampai ribuan ulama terbunuh oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647.

Sejak saat itu, hubungan kaum santri dan pihak keraton berjalan amat buruk. Kemunculan Pangeran Diponegoro ternyata berhasil menyatukan mereka.

Upaya perjuangan pangeran Diponegoro memiliki daya tarik yang sangat besar terhadap banyak lapisan masyarakat, termasuk para tokoh dan pejabat tinggi kerajaan yang pro Diponegoro.

Bahkan puluhan pangeran Keraton bersimpati dan mendukung perjuangan Diponegoro, diantaranya Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Ngabehi Jayakusuma.

Peperangan panjang yang dilakukan Pangeran Diponegoro menjadi sesuatu yang heroik, peperangan melawan bangsa Belanda yang begitu mendominasi dan memiliki senjata yang jauh lebih canggih. Perjuangan rakyat Jawa tersebut didasarkan atas faktor ekonomi, sosial dan semangat keislaman.

Perang Diponegoro banyak menggerus finansial pihak Belanda, bahkan efeknya sampai ke pusat negeri Belanda yang mengalami kantong kering akibat budget perang yang sangat besar. Berakhirnya Perang Jawa menjadi akhir perlawanan para bangsawan Jawa.





Baca Juga:

No comments: