Nama : Sultan Ageng Tirtayasa (Abu al-Fath Abdulfattah)
Lahir : 1631, Banten
Wafat : 1695, Jakarta
Ayah : Abdul Ma’ali Ahmad
Ibu : Ratu Martakusuma
Sultan Ageng Tirtayasa adalah raja Kesultanan Banten yang memerintah di abad
ke-17. Perjalanan hidupnya dikenang oleh orang-orang banyak setelahnya, beliau
melakukan perjuangan panjang untuk menghadapi penjajah Belanda.
Sultan Ageng Tirtayasa pada masa kecil bernama Abdul Fatah, merupakan
keturunan dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (Sultan Banten periode 1640-1650)
dan Ratu Martakusuma. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal saat dirinya
mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (sekarang terletak di Kabupaten
Serang).
Abdul Fatah merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Beliau diangkat sebagai
Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati saat ayahnya (Sultan Abu al-Ma’ali
Ahmad) wafat. Tapi setelah ayahnya wafat, estafet kepemimpinan Kesultanan
Banten dipegang oleh kakeknya -Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir- yang
hanya sempat memerintah selama setahun.
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 18 orang putera:
- Abu Nashar Abdulqahar
- Pangeran Purbaya
- Tubagus Abdul
- Tubagus Rajaputra
- Tubagus Husaen
- Tubagus Ingayudadipura
- Raden Mandaraka
- Raden Saleh
- Raden Rum
- Raden Sugiri
- Raden Muhammad
- Tubagus Rajasuta
- Raden Muhsin
- Arya Abdulalim
- Tubagus Muhammad Athif
- Tubagus Wetan
- Tubagus Kulon
- Raden Mesir
Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa
Setelah kakeknya wafat pada tahun 1651, Abdul Fatah atau pangeran Dipati naik
tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Usianya
masih sangat muda saat naik tahta, sekitar usia 20 tahun.
Selain menjalani roda pemerintahan dan administrasi negara, Sultan Ageng
Tirtayasa dikenal sangat menaruh perhatian tinggi terhadap perkembangan agama
Islam di wilayah kekuasaannya, kehidupannya sangat dekat dengan para ulama.
Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sangat ahli dalam strategi perang,
perannya sangat kentara ketika dirinya turun tangan langsung untuk membina
mental para pasukan Kesultanan Banten, para pasukannya didiknya untuk dekat
dengan ajaran Islam, bahkan Sultan mendatangkan para ulama besar dari negeri
Arab dan Aceh untuk menguatkan iman dan menyebarkan kebaikan ke dalam
jiwa-jiwa pasukan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Kesultanan Banten dengan sangat baik dan
bijaksana, hingga akhirnya pada masa pemerintahannya merupakan puncak dari
kejayaan Kesultanan Banten. Selain sangat perhatian terhadap kualitas
keislaman rakyatnya, Sultan juga berperan dalam memajukan sistem pertanian dan
irigasi wilayah Kesultanan Banten, serta memperkuat armada perangnya.
Di bidang ekonomi Sultan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara membuka
sawah-sawah baru, mengembangkan irigasi, membuat terusan dan membangun
bendungan. Di bidang keagamaan, Sultan mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti
kerajaan sekaligus penasehat sultan.
Dalam hubungan diplomatik, Sultan Ageng Tirtayasa juga berperan besar dalam
menjaga hubungan baik dengan berbagai kerajaan di nusantara. Dengan
terjalinnya kerjasama yang baik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara,
sehingga Belanda berkali-kali gagal dalam upaya menguasai Kesultanan
Banten.
Disamping itu Kesultanan Banten memiliki hubungan diplomatik dan perdagangan
dengan Kerajaan Turki Ustmani, Kerajaan Inggris, Perancis hingga Denmark.
Pelabuhan Banten kala itu sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari
negeri jauh seperti Arab, Persia, India, China, Inggris, Melayu, Philipina dan
lainnya.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Belanda yang ingin menguasai
Banten mengalami kesulitan untuk mengalahkan pasukan Kesultanan Banten.
Konflik semakin meruncing tatkala Belanda berusaha mencampuri urusan internal
Kesultanan Banten.
Belanda melalui politik adu dombanya yang terkenal (Devide et Impera) berusaha
menghasut Pangeran Abu Nasr Abdul Kahar melawan Pangeran Arya Purbaya yang
merupakan saudaranya sendiri.
Provokasi dan politik adu domba Belanda berhasil, Belanda membuat ketegangan
antar kedua pangeran tersebut menjadi berujung peperangan. Kompeni Belanda
merayu dan mengiming-imingi Pangeran Abu Nasr Abdul Kahar bantuan, hingga
akhirnya perang saudara pun pecah, jadilah Abu Nasr Abdul Kahar memberontak
kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Tapi pasukan Sultan Ageng berhasil memojokan
dan mengepung pasukan Abu Nasr Abdul Kahar di daerah Sorosowan (Banten).
Hanya saja karena Abu Nasr Abdul Kahar berkhianat dan berkongsi dengan pihak
Belanda, sehingga pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Tack dan Saint-Martin
bisa dengan mudah masuk ke wilayah Banten dan menyerang pasukan Kesultanan
Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Kesultanan Banten pada periode 1651-1683.
Selama masa pemerintahannya, Sultan melakukan banyak perlawanan terhadap
invasi Belanda. Saat itu kompeni Belanda memaksakan untuk memonopoli
perdagangan. Dengan berani Sultan Ageng menolak keinginan VOC Belanda.
Sultan punya cita-cita untuk mejadikan Kesultanan Banten menjadi kerajaan
Islami terkuat dan punya pengaruh besar di dunia, sehingga pihak penjelajah
barat harus punya rasa hormat dan mengakui kedaulatan dari kesultanan.
Saat adanya persengketaan antara kedua putra Sultan Ageng Tirtayasa yaitu Abu
Nasr Abdul Kahar dan Pangeran Purbaya, Belanda dengan lihai dan licik
memanfaatkan kesempatan tersebut. Belanda berhasil merayu Abu Nasr Abdul
Kahar. Alhasil pasukan Belanda dan Abu Nasr Abdul Kahar bergabung menggempur
pasukan Sultan Ageng.
Hubungan Diplomatik
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten memperluas
jangkauannya dengan mengadakan hubungan diplomatik dan kerjasama dengan
berbagai kerajaan di nusantara maupun luar nusantara seperti Inggris, Arab,
Perancis dan kerajaan lainnya.
Kesultanan Banten menjalin hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Eropa
seperti Inggris, Perancis dan Denmark, kecuali Belanda. Pada tahun 1671, Raja
Prancis Louis XIV mengutus François Caron yang memimpin kapal dagang Perancis
ke wilayah Nusantara. Setelah mendarat di pelabuhan Banten, rombongan François
Caron disambut dengan baik Syahbandar Kaytsu.
Pada 16 Juli 1671, Sultan Banten dan para pejabat Kesultanan mengunjungi
utusan dagang Prancis, Sultan memberikan izin kepada François Caron untuk
membuka kantor perwakilan di Banten. François Caron sebelumnya merupakan staff
di VOC Belanda, dengan pengalamannya selama bekerja disana dia punya cita-cita
untuk memiliki perusahaan kongsi dagang yang mampu menyaingi kedigdayaan VOC.
Setelah berlabuh, Prancis menjual barang muatan mereka, berbagai jenis barang
diperjual belikan, kecuali candu yang dilarang keras beredar di Kesultanan
Banten. François Caron melakukan kunjungan balik kepada Sultan untuk semakin
mempererat hubungan Perancis dan Kesultanan Banten, serta memberikan hadiah
berupa dua meja besar yang diimpor dari India, getah damar, dua belas pucuk
senapan dan banyak hadiah lainnya.
Kesultanan Banten dan Perancis menyepakati perjanjian dan kerja sama, hak-hak
khusus diberikan kepada Kerajaan Prancis, seperti yang juga diberikan kepada
Kerajaan Inggris.
Hubungan Diplomatik Kesultanan Banten dan Kerajaan Inggris
Hubungan baik juga terjalin antara Inggris dan Banten, bahkan sudah terjalin
sejak lama sebelum pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kesultanan Banten di
bawah kepemimpinan Sultan Abdul Mafakhir pernah secara resmi mengirimkan
ucapan selamat pada tahun 1602 kepada Kerajaan Inggris atas dinobatkannya
Charles I sebagai Raja Inggris.
Sejak masa itu, Banten sudah menjalin hubungan diplomatik dan kerjasama dengan
Kerajaan Inggris, hubungan perdagangan terjalin dan Inggris sudah memiliki
kantor dagang di Banten. Banten tetap menjadi tujuan utama kegiatan
perdagangan Kerajaan Inggris sampai akhir masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa tahun 1682.
Mega Proyek Selama Masa Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa berusaha keras untuk membangun pertanian yang maju di
Banten, hal ini membuat khawatir pihak Belanda karena pengaruh Kesultanan
Banten yang semakin meluas, sehingga Sultan Ageng dianggap sebagai ancaman
oleh Belanda. Keengganan Sultan untuk tuntuk terhadap Belanda semakin
meningkatkan ketegangan antara Kesultanan Banten dan Batavia (Belanda).
Kedua belah pihak tidak menemui kata sepakat, hingga akhirnya deklarasi perang
diumumkan bulan Mei 1658, perang terbuka pun pecah. Pertempuran terjadi
dimana-mana dan berlarut-larut, terjadi di darat maupun di laut. Rakyat Banten
bersama penguasa Banten saling bahu membahu menangkal invasi Belanda hingga
akhirnya pasukan Belanda terdesak.
Pihak Belanda menawarkan perjanjian damai, dan tawaran damai disetujui oleh
Sultan Banten. Setelah Banten dan Batavia tidak lagi serang-menyerang maka
suasana menjadi kondusif, Sultan Ageng Tirtayasa segera melakukan perbaikan
dan pembangunan wilayah. Kesultanan membangun infrastruktur perairan dan
sistem pertanian untuk menunjang perdagangan.
Sultan memerintahkan untuk membangun pemukiman di bagian terluar wilayah
Kesultanan Banten. Disebutkan bahwa seorang pejabat atau mentri Kesultanan
Banten membuat sebuah kebijakan yang unik, dia memanggil kepala daerah di
Kesultanan Banten, meminta seluruh keluarga mengumpulkan batang pohon kelapa.
Sebuah keluarga biasanya terdiri dari 5 orang dan diberikan sebidang tanah
seluas 1 hektar. Pemukiman baru akan dibuat dengan perkiraan berjumlah 5.000
keluarga.
Pohon-pohon ditanam di dekat Sungai Ontong Jawa (sekarang bernama Cisadane),
proyek Kesultanan Banten ini sukses menghasilkan ladang pohon kelapa dengan
luas sekitar 5.000 hektar. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa proyek Sultan
Banten ini sebagai ‘Mega Proyek’.
Setidaknya ada 10 desa baru ditempatkan di sepanjang Sungai Cisadane tersebut,
selain sebagai tempat pemukiman dan perkebunan, desa-desa tersebut dibangun
oleh Sultan Banten sebagai benteng pertahanan alami. Dengan ditanamnya ratusan
ribu pohon kelapa di dekat perbatasan, maka akan menutupi area Kesultanan
Banten sehingga Belanda menjadi lebih sulit untuk memantau situasi atau
memata-matai Kesultanan Banten.
Walaupun sudah diteken perjanjian damai, tapi sebenarnya antar kedua pihak
masih memiliki rasa curiga yang tinggi. Sultan sudah mengetahui bahwa Batavia
menempatkan banyak mata-matanya di wilayah perbatasan.
Pada 1663, Banten menjalankan sebah proyek penggalian terusan dari beberapa
sungai, alirannya akan menghubungkan banyak ngarai yang nantinya bisa dilalui
oleh kapal-kapal kecil untuk kebutuhan perdagangan, pembangunan saluran ini
juga untuk keperluan irigiasi pertanian, hingga untuk keperluan militer yang
dimana dapat gunakan untuk mempercepat mobilisasi militer dari satu tempat ke
tempat lainnya.
Setelah proyek penggalian terusan itu selesai, Sultan Banten juga membuat
persawahan yang terbentang di sepanjang alirannya. Dengan dibangunnya area
persawahan yang lumayan luas, maka Kesultanan Banten memiliki pasokan lumbung
padi yang sangat banyak untuk mencukupi kebutuhan rakyat.
Sultan Ageng meninggalkan istananya dan turun langsung memantau mega
proyeknya, adapun tugas administrasi di ibu kota diberikan kepada pejabat
kepercayannya di istana. Pada 1664, dimana proyek penggalian terusan
progresnya baru setengah jalan (belum selesai), Sultan Ageng ternyata membuat
proyek lainnya yaitu pembangunan sebuah bendungan sebagai tempat penampungan
air untuk pengairan ke sawah-sawah.
Setelah proyek terusan Tanara-Pasilian selesai dibuat, pada 1670 Sultan Ageng
membuat jalur terusan baru antara Pontang sampai Tanara. Sultan ingin membuka
jalur dari tepi laut hingga ke pedalaman. Lagi-lagi ini mega proyek yang
diprakarsai oleh Sultan dengan menelan banyak biaya dari kas Kesultanan,
disebutkan bahwa proyek ini melibatkan 16.000 pekerja yang berasal dari Banten
maupun luar Banten.
Sebenarnya merencanakan mega proyek seperti ini tidaklah mudah karena tidak
sedikit biaya yang dibutuhkan, hanya saja Sultan berusaha keras agar proyek
pembangunan bisa terlaksana karena memberikan manfaat yang sangat besar.
Disebutkan pada tahun 1673 Sultan memesan 12 buah watermolentjes (kincir air)
dari Batavia, sebuah teknologi canggih pada di masa itu fungsinya untuk
mempercepat proses pengairan sawah-sawah di Tanara.
Dan bahkan pada tahun 1675-1677, Sultan Ageng mengadakan empat proyek besar
yang dilakukan bersamaan, seperti penambahan terusan dan pembangunan
bendungan. Dari catatan pemerintah Batavia, disebutkan bahwa setiap laki-laki
yang sehat diwajibkan untuk ikut serta dalam proyek pembangunan itu. Banyak
pekerja yang bekerja secara sukarela, ada juga yang ikut karena mendapat
paksaan dari kepala daerah di tempat tinggalnya.
Setelah semua proyek tersebut selesai, Sultan Ageng mengalihkan perhatiannya
pada pembangunan sebuah kota baru di sekitar terusan. Hal yang menarik, Sultan
juga mendirikan rumah-rumah berbahan permanen untuk tempat tinggal bagi para
penduduk. Ahli sejarah menyebutkan bahwa Sultan Ageng menyukai rumah-rumah
dari bata yang saat itu mengikuti dari tradisi China, adapun tradisi orang
Jawa saat itu adalah membangun rumah dari bahan kayu dan bambu.
Hanya saja pada tahun 1678 terjadi perselisihan antara Batavia dengan Cirebon,
pihak Cirebon meminta bantuan Kesultanan Banten sehingga Sultan Ageng
mengirimkan pasukan kesana untuk membantu pasukan Cirebon. Hal ini membuat
perhatian Sultan Ageng teralihkan ke militer, sehingga rencana-rencana
pembangunan lainnya tidak memungkinkan untuk terlaksana.
Apalagi disaat bersamaan terjadi konflik di internal Kesultanan Banten, dimana
terjadi pemberontakan oleh Pangeran Abu Nasr Abdul Kahar, ini menjadi peluang
besar bagi Batavia (Belanda) untuk menginvasi Kesultanan Banten.
Puluhan ribu pekerja laki-laki dialihkan menjadi pasukan Kesultanan Banten.
Dengan begitu mega proyek terpaksa tidak bisa dilanjutkan, walau begitu
sebenarnya Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan pembangunan yang begitu
besar bagi Kesultanan Banten.
Kelicikan Belanda
Pangeran Purbaya datang ke ayahnya (Sultan Ageng) memberitahu bahwa kompeni
Belanda memblokade perairan Teluk Banten yang menyebabkan para pedagang
mancanegara tidak bisa masuk pelabuhan. Dampaknya para pedagang dari Arab,
Eropa dan China menjauh dari Banten karena blokade yang dilakukan VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa menolak mentah-mentah tawaran Belanda untuk memonopoli
perdagangan, karena keinginan Sultan adalah menjadikan Banten sebagai
pelabuhan terbuka. Pihak Belanda pun ngembek karena keinginannya tidak
dituruti Sultan.
Karena sikap bodoh VOC Belanda yang memblokade teluk Banten, maka terjadilah
konflik antara dua negara yang bertentangga ini. Konflik menyebabkan banyak
kerusakan pada kapal-kapal milik Belanda, dan Sultan Ageng yang berhasil
membuka blokade Belanda.
Dari sinilah konflik antar kedua negara bermula, taktik terkenal yang akan
dilakukan Belanda adalah politik adu domba, Belanda sukses mengadu domba dua
kakak beradik yaitu Pangeran Abu Nashar Abdulqahar dan Pangeran Purbaya.
Disebutkan bahwa putra mahkota yaitu Pangeran Abu Nashar Abdulqahar merasa
tidak suka terhadap adiknya (Pangeran Purbaya) yang berperan besar dalam
pemerintahan Banten, yang menurutnya itu adalah haknya saja.
Disisi lain, Sultan Ageng prihatin karena Pangeran Abu Nashar Abdulqahar
semakin hari semakin dekat dengan Belanda, bahkan dia melakukan perjanjian
dengan Belanda berupa pajak dagang dinaikkan yang tentu merugikan rakyat.
Pangeran Purbaya menganggap kakanya (Pangeran Abu Nashar Abdulqahar) telah
dipengaruhi kompeni Belanda, tapi kakaknya beralasan bahwa maksud kedekatannya
dengan kompeni agar Kesultanan bisa menjalin hubungan baik dengan Belanda,
sehingga kedua belah pihak hidup damai dan tidak ada peperangan.
Pangeran Abu Nashar Abdulqahar juga merasa bahwa dirinya berhak untuk membuat
keputusan seperti itu, yang merupakan haknya sebagai putra mahkota. Respon
Sultan Ageng Tirtayasa tentu memandang aneh atas kelakuan anaknya tersebut,
Sultan Ageng pun mengingatkan bahwa VOC Belanda sangatlah licik, berbaik hati
kalau ada maunya.
Hanya saja Belanda sangat pandai dalam tipu daya, hingga akhirnya membuat
Pangeran Abu Nashar Abdulqahar mau berpihak kepada kompeni. Jadi si pangeran
lebih percaya Belanda daripada nasihat ayahnya. Kompeni Belanda lalu
memengaruhinya untuk mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa.
Menghadai situasi yang pelik, Sultan membangun Keraton baru di Tirtayasa,
inilah awal mula julukan Sultan Ageng Tirtayasa, sebelumnya ia dikenal dengan
nama Abu Fath Abdul Fatah. Sultan Ageng tidak sudi jika keraton dikuasai
Belanda sehingga keraton (yang lama) dimusnahkan dengan cara dibakar.
Terjadilah perang saudara di Banten karena ulah kelicikan Belanda, Sultan
Ageng tidak menghentikan perlawanan walaupun digempur terus-menerus oleh dua
pihak sekaligus.
Kemudian Belanda kembali melakukan tipu daya, dibuatlah seolah-olah Pangeran
Abu Nashar Abdulqahar menyesal dan berkirim surat menyadari kesalahannya dan
meminta maaf kepada ayahya. Sultan Ageng pun datang ke Surosowan, di
tengah-tengah pembicaraan dengan anaknya, secara tiba-tiba kompeni Belanda
datang dan menangkap Sultan Ageng lalu diasingkan ke Batavia.
Maka berakhirlah perjuangan Sultan Ageng akibat penghianatan yang dilakukan
puteranya sendiri. Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan pengikut Sultan Ageng
ditangkap oleh Belanda. Setelah itu Abu Nashar Abdulqahar menjadi Sultan di
Kesultanan Banten, yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Hanya saja Sultan Haji selalu dibawah tekanan Belanda dalam setiap
keputusannya. Sultan Haji tidak pernah mendapatkan kebebasan dalam menjalankan
pemerintahan di Banten, padahal dirinya adalah seorang Sultan.
Sultan Ageng Tirtayasa Wafat
Perang saudara terus-menerus terjadi, menyebabkan kekuatan Kesultanan Banten
melemah karena hanya disibukan dengan urusan internal. Kekuatan pasukan
Kesultanan Banten yang melemah menyebabkan pasukan Belanda terus bergerak maju
mendekati pusat pemerintahan Kesultanan Banten. Akhirnya Sultan Ageng
Tirtayasa ditangkap pada tahun 1683 dan dibawa ke Batavia.
Sultan Ageng Tirtayasa dipenjara di Batavia, hingga akhirnya wafat pada tahun
1692. Beliau dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi
Banten.
Atas jasa-jasanya yang besar, Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan
Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa pada 1 agustus 1970 melalui SK Presiden
Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970.
Tulisan Terkait: