“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya.”
Laksamana Keumala Hayati (dikenal dengan nama Malahayati) lahir pada tahun
1550 di Aceh Besar, Kesultanan Aceh dan meninggal pada tahun 1615 di Aceh
Besar, Kesultanan Aceh.
Malahayati hidup di masa Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ali
Riayat Syah IV. Dia seorang pejuang perempuan yang berasal dari Kesultanan
Aceh.
Sebagai seorang anak yang merupakan keturunan dari pendiri Kesultanan Aceh,
membuatnya sejak kecil punya semangat juang yang tinggi dan memberikan
loyalitas tanpa batas kepada Kesultanan Aceh.
Ayah dan Kakeknya adalah Laksamana yang berkedudukan tinggi dan punya pengaruh
sangat besar terhadap masyarakat Aceh saat itu. Sejak belia Malahayati sudah
menyadari makna perjuangan, dengan kemauannya sendiri yang kuat Malahayati
memutuskan untuk masuk ke dunia militer. Walaupun seorang wanita, beliau
berhasil memaksimalkan bakatnya di pendidikan kemiliteran, bahkan menjadi
lulusan terbaik.
Masa Kecil & Masa Muda Malahayati
Malahayati adalah keturunan dari pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa
kanak-kanak dan remaja ia mendapatkan pendidikan dari Istana, ditempatkan di
sekolah khusus para bangsawan sebab ia masih berkerabat dengan Sultan Aceh.
Sejak dulu masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat Islami, lingkungan
seperti ini membentuk Malahayati menjadi sosok yang soleha, ahli ibadah dan
pemberani. Kehidupannya yang patuh terhadap aturan-aturan syariat Islam.
Disebutkan bahwa pada usia enam tahun Malayahati sudah menyibukan diri untuk
belajar Al Qur’an, pada delapan tahun Malahayati menunutut ilmu kepada Tengku
Jamaludin Lam Kra, seorang ulama di Banda Aceh. Pada usia 10 tahun belajar di
Dayah Inong (Madrasatul Banat) mendalami ilmu agama seperti aqidah, fikih,
tafsir Al-Qur’an, akhlak dan bahasa Arab. Malahayati juga memanfaatkan
waktunya yang berharga untuk belajar bahasa asing.
Malahayati tumbuh menjadi anak yang cerdas karena dirinya sejak kecil selalu
memanfaatkan waktu untuk mempelajari hal-hal yang penting dan berguna.
Tidaklah mengerankan Malahayati punya bekal ilmu agama yang baik, serta pandai
berbahasa Arab, Inggris, Spanyol, Perancis, dan bahasa lokal seperti Melayu
dan Aceh.
Sejak kecil, ayahnya sering mengajaknya ke pelabuhan melihat kapal dagang
maupun kapal perang Kesultanan Aceh, Malahayati sangat antusias untuk
melihatnya. Bahkan Malahayati terkadang diajak untuk melihat latihan perang
armada Kesultanan Aceh di tengah lautan.
Pada masa itu sebagian wilayah semenanjung Malaka telah dikuasai Portugis,
yang memperlakukan tanah jahahannya dengan sangat buruk. Portugis memperbudak
orang lokal dengan mempekerjakan mereka tanpa diupah, serta merampas hasil
bumi orang lokal dengan penerapan pajak yang sangat tinggi (baca: tidak masuk
akal) yang sangatlah mencekik dan membuat menjerit rakyat Malaka.
Bagi Kesultanan Aceh sendiri, dikuasainya Malaka oleh Portugis adalah ancaman
serius di depan pintu. Setiap saat bisa saja pihak Portugis melakukan invasi
karena jaraknya yang sangat dekat. Kekhawatiran tidak hanya dirasakan
Kesultanan Aceh, Kesultanan Banten juga merasa khawatir dengan eksistensi
militer Portugis.
Perang benar-benar pecah di Malaka pada 1575, Kesultanan Aceh bekerja sama
dengan Kesultanan Banten untuk menghalau Portugis. Armada perang Kesultanan
Aceh dipimpin Laksamana Mahmud Syah sedangkan armada Banten yang dipimpin
Pangeran Arya bin Maulana Hasanuddin. Pertempuran terjadi di dekat pangkalan
La Formosa, Ayahnya yang seorang Laksamana gugur dalam peperangan.
Malahayati sangat bersedih dengan kepergiaan ayahnya, pergi untuk
selama-lamanya dan tidak akan kembali, demikian rakyat Aceh bersedih.
Malahayati sering terlihat murung setelah kejadian tersebut, disebutkan bahwa
beliau pernah bergumam
“Ah, mengapa aku lahir sebagai wanita. Andai saja aku pria, aku dapat
dengan mudah menjadi laksamana dan menuntut balas atas kematian
ayahku”.
Malahayati sering mengadu kepada gurunya yang dikenal bijak -Tengku Ismail
Indrapuri- mengenai rasa gundah-gulana dan situasi berat yang dihadapinya.
Sang guru mendidik Malahayati dengan sangat baik, memberikan nasihat dan
motivasi-motivasi kepadanya.
Keberadaan Tengku Ismail Indrapuri sangat berpengaruh besar dalam membentuk
kepribadian Malahayati. Selain itu Ayah dan kakeknya mengabdikan diri sebagai
Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh, hal ini sangat memicu Malahayati untuk
menempuh pendidikan dengan motivasi tinggi di Akademi Militer Mahad Baitul
Maqdis.
Saat belajar di akademi, Malahayati bertemu dengan pria idamannya yang
merupakan seniornya di akademi. Usai kelulusan, beliau pun menikah dan
menjalani kehidupan rumah tangga seperti umumnya pasangan suami istri.
Sayangnya setelah lama hidup bersama, suaminya gugur di medan peperangan saat
melawan Portugis di Teluk Haru. Peperangan memang dimenangkan Kesultanan Aceh,
tapi sayangnya harus menelan banyak korban jiwa, termasuk suaminya sendiri.
Beratnya ditinggal suami yang gugur di medan perang, tentunya membuat
Malahayati bersedih. Tapi kesedihannya tidak membuatnya melemah, justru
setelah itu tekadnya semakin kuat hingga akhirnya menjadi panglima angkatan
laut.
Armada laut yang dipimpinnya beranggotakan para janda yang suaminya gugur di
medan perang, yang dikenal dengan nama Inong Balee. Jumlah prajuritnya semakin
banyak karena para gadis atau wanita yang belum menikah juga turut bergabung
ke dalam armada lautnya.
Malahayati merupakan putri istana berjiwa pemberani, yang masih termasuk dalam
keluarga inti kerajaan. Sejak kecil Malahayati tidak terlalu suka bersolek,
dia hanya memilih dan memfokusnya diri untuk melakukan hal-hal besar. Bahkan
sejak kecil dirinya suka berlatih ketangkasan. Karena sejak kecil sudah
ditempa sehingga tidak mengherankan Malahayati bisa menjadi seorang laksamana.
Bakatnya bagaikan mengalir dari ayah dan kakeknya.
Selain itu dalam sejarahnya Kesultanan Aceh Darussalam pernah dibawah
kepemimpinan para wanita tangguh, diantaranya Cut Nyak Dien atau Cut Meutia
yang kiprahnya sangat terkenal dalam sejarah nusantara. Sehingga janganlah
heran jika muncul seorang wanita di Aceh yang menjadi seorang laksamana.
Malahayati memilih dunia militer sebagai bidang yang digelutinya seumur hidup,
dia merupakan hasil didikan akademi ketentaraan Kesultanan Aceh bernama Mahad
Baitul Maqdis, yang didalamnya terdapat beberapa instruktur (perwira) dari
Kerajaan Turki Usmani.
Malahayati berhasil menjadi lulusan terbaik di Mahad Baitul Maqdis, dari sini
saja sudah bisa diketahui bahwa Malahayati kelak akan menjadi pemimpin militer
besar.
Malahayati ditunjuk menjadi komandan istana di masa pemerintahan Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Mukammil. Salah satu tugasnya yaitu memeriksa tamu
asing yang ingin menghadap Sultan. Lewat izin Malahayati, tamu baru dibolehkan
bertemu Sultan. Penyebab Malahayati dipilih menjadi komandan istana, karena
Sultan Alauddin menilai Malahayati sebagai sosok yang tangguh, amanah dan
sangat terpecaya.
Sultan Alauddin kemudian memberikan amanah yang lebih besar kepada Malahayati.
Sultan menjadikan Malahayati sebagai pemimpin angkatan laut Kesultanan Aceh
dengan pangkat laksamana. Padahal saat itu Kesultanan Aceh sedang berjuang
menjaga perairan Selat Malaka agar tidak bernasib sama seperti tetangganya
yang jatuh ke tangan Portugis.
Awalnya Malahayati diangkat menjadi Wakil Panglima Armada V . Panglima Armada
V Aceh saat itu adalah Laksamana Muda Mahaja Lela, pada 1581 Malahayati
ditugaskan untuk memimpin penyerangan ke benteng La Formosa milik Portugis di
Malaka. Perairan Riau dinilai rawan karena pihak Portugis sering mencegat dan
merampas isi dari kapal dagang yang lewat.
Terdapat 40 kapal perang yang dikirim beserta 10.000 prajurit Aceh. Malahayati
memang tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, tapi armada laut
Kesultanan Aceh berhasil memporak-porandakan armada perang Portugis dan
menimpakan kerugian besar pada Portugis. Sultan Alaudin menilai misi armada
Aceh di bawah pimpinan Malahayati berhasil, oleh karena itu Sultan mengangkat
Malahayati menjadi Panglima Armada V Kesultanan Aceh dengan pangkat Laksamana
Muda. Disebutkan bahwa Malahayati saat itu baru berusia 22 tahun.
Malahayati resmi menjadi seorang Laksamana, inilah jabatan yang sebelumnya
pernah dibebankan kepada ayah dan kakeknya. Disebutkan bahwa para jenderal dan
pasukan menaruh hormat pada kehebatan kepemimpinan Malahayati.
Perjuangan Laksamana Malahayati
Malahayati disebut-sebut sebagai laksamana laut perempuan pertama di dunia,
sosoknya yang tegas, pemberani dan ahli dalam dunia kemiliteran, berperan
besar di pertempuran melawan armada angkatan laut Belanda dan Portugis pada
abad ke-16 M.
Malahayati memimpin ribuan prajurit berperang melawan kapal-kapal dan
benteng-benteng Belanda. Bahkan melakukan peperangan melawan pasukan Cornelis
de Houtman, dimana pada peperangan tersebut berhasil menewaskan Cornelis de
Houtman. Karena aksi heroik dan keberaniannya melawan pasukan Cornelis de
Houtman, kiprah Malahayati sebagai Laksamana menyebar ke seantero dunia.
Dimulai dari kapal besar berbendera Belanda yang merapat ke Pelabuhan Aceh
pada pertengahan Juni 1599. Terdapat dua kapal besar yang dipimpin dua
bersaudara Frederick dan Cornelis de Houtman. Pada awalnya kedatangan kapal
Belanda tersebut disambut baik.
Sebenarnya de Houtman bersaudara sudah mengunjungi banyak tempat di nusantara,
yaitu tempat-tempat yang dianggap menghasilkan banyak rempah-rempah, akan
tetapi upaya mencari tempat pemasok rempah-rempah selalu berakhir dengan
kegagalan dan pertikaian dengan warga lokal.
Beberapa tempat yang pernah dikunjungi de Houtman bersaudara seperti Banten,
Madura hingga Bali. Setiap mengunjungi suatu tempat selalu berakhir dengan
pertikaian dengan warga lokal, hal tersebut kemungkian karena tabiat para
pelaut Belanda yang kurang bersahabat, ditambah perbedaan norma dan budaya,
sehingga keberadannya tidak disukai warga lokal.
Masalah seperti itu kemungkinan juga terjadi di Aceh, tapi kali ini
benar-benar menyebabkan terjadinya peperangan, sepertinya memang para pelaut
Belanda selalu memperlihatkan tabiat buruk dan egoisme di setiap tempat yang
dikunjunginya.
Pada dasarnya hubungan para pendatang Eropa dengan Kesultanan Aceh berjalan
cukup baik, benih-benih permusuhan muncul akibat tingkah orang-orang Belanda,
peperangan pun terjadi. Salah satu pemicunya, disebutkan bahwa pihak Belanda
yang dipimpin Cornelis De Houtman melarang orang Aceh berlayar ke Johor
Malaysia. Bahkan, pasukan de Houtman bersaudara menembaki orang-orang Aceh,
yang diantaranya terdapat para pembesar Aceh dan kerabat Sultan.
Pada empat bulan sebelumnya, dua bersaudara De Houtman telah menyepakati
perjanjian dengan Sultan, yaitu Belanda diperbolehkan mendirikan kantor dagang
di Aceh, sebagai gantinya Kesultanan Aceh diizinkan untuk menggunakan kapal
besar milik Belanda untuk mengangkut warga setempat ke Johor. Hanya beberapa
bulan setelahnya Belanda mengingkari perjanjian dan menyatakan permusuhan
kepada Kesultanan Aceh.
Keangkuhan dan tindakan sembrono Belanda tentunya membuat Sultan Alauddin
murka, maka Sultan memerintahkan Laksamana Malahayati untuk menyerang Belanda.
Adapun de Houtman bersaudara sudah menyadari hal ini dan mempersiapkan
segalanya untuk menghadapi serangan yang bakal datang.
Malahayati dan pasukannya berhadapan dengan kapal Belanda, melakukan sebuah
perjuangan yang tercatat dalam sejarah nusantara. Terjadilah pertempuran di
tengah laut, armada Belanda benar-benar kewalahan menghadapi ketangguhan
pasukan Malahayati.
Cornelis de Houtman terbunuh dalam peperangan, dan wakil komandan armada
Belanda (Frederick de Houtman) berhasil ditawan. Dimana di bumi Serambi Mekah
petualangan dua bersaudara ini berakhir.
Frederick ditawan pasukan Aceh dan dia sangat beruntung karena diperbolehkan
pulang ke Belanda. Adapun Cornelis benar-benar harus menemui takdirnya
(kematian). Disebutkan bahwa Cornelis de Houtman tewas dalam tikaman rencong
Malahayati sendiri. Dia tewas di ujung rencong Malahayati dalam duel satu
lawan satu di atas kapal besarnya yang berbendera Belanda.
Dalam pertempuran di tengah laut melawan de Houtman bersaudara, disebutkan
bahwa Laksamana Malahayati melompat masuk dan berhasil mencapai tempat dimana
Cornelis de Houtman berada, sehngga mereka saling berhadapan. Malahayati
menggenggam rencong di tangannya, dan Cornelis bersenjatakan
pedang.
Terjadilah duel satu lawan satu, hingga akhirnya Malahayati berhasil menikam Cornelis hingga tewas. Peristiwa itu terjadi pada 11 September 1599, sekitar 420 tahun yang lalu. Pada peperangan tersebut, armada Belanda mengalami kekalahan telak dan kehilangan banyak pasukan. Peristiwa ini pernah dikisahkan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul Oude Glorie (1935).
Karir militernya menanjak setelah kesuksesannya menghajar kapal perang Belanda pimpinan Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal kejam.
Terjadilah duel satu lawan satu, hingga akhirnya Malahayati berhasil menikam Cornelis hingga tewas. Peristiwa itu terjadi pada 11 September 1599, sekitar 420 tahun yang lalu. Pada peperangan tersebut, armada Belanda mengalami kekalahan telak dan kehilangan banyak pasukan. Peristiwa ini pernah dikisahkan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul Oude Glorie (1935).
Karir militernya menanjak setelah kesuksesannya menghajar kapal perang Belanda pimpinan Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal kejam.
Malahayati juga memerintahkan pasukannya untuk menyerang Kantor Dagang
Belanda. Sehingga pertempuran benar-benar tak terelakkan, terjadi di darat
maupun di laut. Buntut peperangan yaitu terbunuhnya si pemimpin Belanda yang
akhirnya membuat Belanda menyerah secara mutlak. Setelah peperangan ini, nama
Malahayati melegenda di seantero jagat dan Bangsa Eropa mengakui kehebatan
Malahayati.
Prajurit Belanda yang ditangkap akhirnya dibawa ke pangadilan. Awalnya hakim
menjatuhkan hukuman mati kepada semua prajurit Belanda karena telah terbukti
melakukan kekacauan di negeri orang dan melanggar kedaulatannya.
Akan tetapi ada beberapa pertimbangan seperti hal-hal yang meringankan
dakwaan, hingga akibat yang akan diterima Kesultanan Aceh jika hukuman mati
terpaksa dilakukan, alhasil hukuman mati diganti menjadi hukuman seumur hidup.
Kesultanan Aceh ingin menjalin hubungan yang baik dengan beberapa negara di
Eropa. Penetapan hukuman mati dinilai bisa merenggangkan hubungan Kesultanan
Aceh dengan negara-negara Eropa.
Malahayati tidak hanya memimpin prajurit yang berisi kaum pria, tapi dirinya
sangat aktif untuk menggalang kekuatan dari kaum wanita. Salah satunya yang
terkenal yaitu Malahayati merekrut para janda yang suaminya gugur dalam perang
di Teluk Haru, dimana suami Malahayati juga gugur dalam perang tersebut.
Kelompok pasukan ini akhirnya terkenal dengan nama Inong Balee.
Pangkalan militer pasukan Malahayati berada di Teluk Lamreh Krueng Raya dan
daerah perbukitan yang jaraknya tidak jauh dari situ. Pada pangkalan militer
yang di perbukitan, Malahayati memerintahkan untuk mendirikan benteng-benteng
sebagai pertahanan dan juga menara pengawas.
Malahayati membangun sebuah benteng yang dikenal dengan nama Benteng Inong
Balee, kalau sekarang ini letaknya ada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya,
Kabupaten Aceh Besar. Benteng Inong Balee menghadap ke barat, yaitu ke arah
Selat Malaka.
Selain berfungsi sebagai pertahanan, benteng ini mempunyai fasilitas seperti
asrama yang menampung para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Di
dalam benteng juga terdapat fasilitas pelatihan militer serta gudang
penyimpanan senjata dan logistik keperluan perang. Setelah wafat, Malahayati
dikuburkan di lokasi yang tidak jauh dari Benteng Inong Balee, jaraknya
kira-kira 3 KM, sang wanita pejuang dan pemberani dimakamkan di atas bukit.
Laksamana Malahayati punya peran vital di dalam Kesultanan Aceh, selain
mengelola pasukan kesultanan, perannya juga mengawasi dan menjaga keamanan
semua pelabuhan maupun bandar dagang di wilayah Kesultanan Aceh.
Keganasan dan keberanian pasukan Laksamana Malahayati terkenal seantero jagat,
kapal-kapal perangnya dilengkapi dengan meriam. Sebagai pelengkapnya,
armadanya mempunyai benteng dan menara pengawas yang berlokasi di atas bukit.
Dengan strategi yang matang, armada laut Laksamana Malahayati begitu tangguh
dan memporak porandakan musuh-musuh dari Eropa.
Malahayati juga dikenal sebagai diplomat yang hebat. Dia berunding dengan
pihak Belanda yang ingin memperbaiki hubungan dengan Kesultanan Aceh, dan
memaksa Belanda untuk mau membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh, sebagai
gantinya Frederick de Houtman dibebaskan dan boleh pulang ke Belanda.
Ratu Elizabeth I di Inggris mendengar kehebatan Laksamana Malahayati, sehingga
pihak Inggris di Eropa tidak berani macam-macam dengan Kesultanan Aceh.
Kerajaan Inggris lebih memilih jalur damai dan menghormati kedaulatan
Kesultanan Aceh, Inggris membuka pembicaraan diplomatik dengan Kesultanan Aceh
agar diizinkan untuk membuka jalur perdagangan.
Kerajaan Inggris mengirim Sir John Lancaster ke Aceh untuk berdiplomasi, tiba
di Pelabuhan Aceh pada 5 Juni 1602. Malahayati turun tangan untuk berdiplomasi
dengan pihak Inggris, diplomasi berlangsung selama beberapa waktu hingga
akhirnya Inggris setuju untuk membantu Kesultanan Aceh dalam memerangi
Portugis.
Sebagai gantinya Inggris diizinkan untuk membuka jalur perdagangan di Jawa dan
Banten, karena kapal-kapal dagang Inggris melewati wilayah Kesultanan Aceh
untuk menuju Jawa.
Selama hidupnya, Laksamana Malahayati berhasil membunuh pemimpin penjelajah
Belanda sehingga Kesultanan Aceh menjadi disegani oleh bangsa Eropa, dan
berhasil menghalau Portugis dan Inggris yang berniat menginvasi Aceh. Bahkan
Laksamana Malahayati sukses meyakinkan pihak Inggris untuk bersekutu melawan
Portugis.
Setelah menghadapi invasi armada Cornelis de Houtman, Malahayati harus
menghadapi armada Paulus van Caerden yang ingin menerobos perairan Aceh pada
1600, disebutkan bahwa pasukan Paulus van Caerden menjarah dan menenggalamkan
kapal bermuatan rempah. Malahayati memerintahkan penangkapan Laksamana
Belanda, Jacob van Neck pada 1601, terjadi pertempuran sengit hingga akhirnya
Belanda menyerah.
Sultan Aceh menyertakan Laksamana Malahayati dalam urusan-urusan diplomatik
dan kebijakan negara. Saat ada utusan dari negeri lain yang datang ke Aceh,
sebelum utusan itu menghadap Sultan Aceh harus terlebih dahulu menemui
Malahayati.
Peran Laksamana Malahayati dalam hubungan diplomatik Kesultanan Aceh sangatlah
penting, Sultan selalu meminta pendapat Malahayati sebelum mengambil keputusan
mengenai hubungan dengan negara lain.
Kejadian yang menimpa Cornelis de Houtman benar-benar menggemparkan negeri
Belanda, Raja Belanda langsung mengadakan sidang darurat untuk membahas hal
tersebut, terjadi perselisihan pendapat dalam pertemuan tersebut. Sebagian
pihak menginginkan agar Belanda mengirim armada besar untuk menggempur
Kesultanan Aceh.
Tapi hal ini tidak disetujui oleh banyak pihak, karena beralasan jika Belanda
menyatakan deklarasi perang terhadap Kesultanan Aceh dan mengirimkan armada
besar, pastinya akan membutuhkan biaya yang sangat besar.
Selain itu Kesultanan Aceh tidak akan ragu-ragu untuk menutup perairan Selat
Malaka terhadap kapal-kapal dagang Belanda, dampaknya Belanda tidak bisa
berdagang dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, jika itu terjadi Kerajaan
Belanda akan menanggung kerugian besar.
Hasil sidang memutuskan bahwa satu-satunya pilihan terbaik adalah meminta maaf
kepada Kesultanan Aceh. Maka Raja Belanda saat itu yang bernama Maurits van
Oranje mengirimkan utusan ke Kesultanan Aceh beserta dengan surat permintaan
maaf.
Pada pertemuan dengan utusan Belanda, Malahayati berhasil memaksa Belanda
untuk setuju membayar ganti rugi sebesar 50 ribu gulden. Utusan juga membawa
hadiah-hadiah sebagai tanda persahabatan dan pengakuan terhadap kedaulatan
Kesultanan Aceh.
Utusan Belanda terdiri dari empat kapal, setelah mendekati perairan Aceh
segera armada Kesultanan Aceh menggiringnya ke daratan. Protokoler keamanan
dilakukan dengan sangat hati-hati dan ketat karena Kesultanan Aceh tidak ingin
kejadian buruk terulang lagi. Laksamana Lauren Bicker dan anggotanya dari
pihak Belanda turun ke darat dengan pengawalan lalu berjalan menuju tempat
Laksamana Malahayati. Setelah masuk ke ruang pertemuan, tamu asing tersebut
diterima dengan baik oleh Malahayati.
Mengenai hasil pertemuan, Malahayati memberikan masukan kepada Sultan Aceh
agar menerima ajakan damai dari Kerajaan Belanda, membebaskan tawanan perang
Belanda sehingga bisa pulang ke negerinya bersama Laksamana Lauren Bicker, dan
pihak Belanda diperbolehkan kembali berdagang dengan orang-orang Aceh.
Dengan begitu Kerajaan Belanda menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan
Aceh dan menghormati kedaulatannya. Reputasi Malahayati juga membuat Kerajaan
Inggris jadi ciut, daripada mengirim pasukan dan kalah telak, maka Kerajaan
Inggris memilih cara damai, yang artinya Inggris mengakui kedaulatan dan
eksistensi Kesultanan Aceh.
Di samping itu, Kesultanan Aceh juga menjalin hubungan diplomatik dengan
banyak negara sepeti Kerajaan Cina, India, Turki Ustmani, Burma, Siam dan
Jepang.
Malahayati berjuang melindungi dan menjaga keamanan perairan Aceh hingga akhir
hayatnya. Dia memimpin pasukan Aceh menghadapi Portugis yang menyerbu Kreung
Raya Aceh pada Juni 1606. Disebutkan bahwa Malahayati gugur dalam pertempuran
tersebut, dia gugur dalam pertempuran melawan armada Portugis yang dipimpin
Alfonso de Castro, gugur saat melindungi wilayah Teluk Krueng.
Setelah kematian suaminya, Malahayati semakin bertekad untuk berjuang
melawan para penjelajah barat. Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda pertama
yang tiba di Indonesia merasakan perlawanan sengit dan heroik dari pasukan
Malahayati hingga menyebabkan pasukan Cornelis de Houtman mengalami
kehancuran.
Keinginan Cornelis de Houtman untuk menguasai wilayah Aceh pada 1599 akhirnya gagal total. Selain melawan Belanda, pasukan Malahayati juga berperang melawan Portugis dan memberikan pukulan telak.
Perjuangan Laksamana Malahayati berakhir pada tahun 1606. Ia gugur saat pertempuran melawan portugis di Perairan Selat Malaka. Jasadnya dikuburkan di lereng Bukit Lamkuta, Banda Aceh.
Nama Malahayati terdengar hingga ke China dan Eropa, kehebatannya di lautan membuat namanya dikenal dunia. Pihak Belanda, Portugis dan Inggris segan terhadapnya, namanya terdengar sampai ke negeri Tiongkok, bahkan sejarawan menjajarkan namanya dengan Katerina Agung dari Rusia.
Laksamana Malahayati wafat dengan meninggalkan nama besar yang diakui bangsa-bangsa Eropa. Kini orang-orang tahu, selain memiliki Cut Nyak Dien, Aceh juga memiliki sosok wanita lainnya yang tak kalah hebat yaitu Laksamana Malahayati.
Keinginan Cornelis de Houtman untuk menguasai wilayah Aceh pada 1599 akhirnya gagal total. Selain melawan Belanda, pasukan Malahayati juga berperang melawan Portugis dan memberikan pukulan telak.
Perjuangan Laksamana Malahayati berakhir pada tahun 1606. Ia gugur saat pertempuran melawan portugis di Perairan Selat Malaka. Jasadnya dikuburkan di lereng Bukit Lamkuta, Banda Aceh.
Nama Malahayati terdengar hingga ke China dan Eropa, kehebatannya di lautan membuat namanya dikenal dunia. Pihak Belanda, Portugis dan Inggris segan terhadapnya, namanya terdengar sampai ke negeri Tiongkok, bahkan sejarawan menjajarkan namanya dengan Katerina Agung dari Rusia.
Laksamana Malahayati wafat dengan meninggalkan nama besar yang diakui bangsa-bangsa Eropa. Kini orang-orang tahu, selain memiliki Cut Nyak Dien, Aceh juga memiliki sosok wanita lainnya yang tak kalah hebat yaitu Laksamana Malahayati.
Peran Laksamana Malahayati Menyikapi Perpecahan di Kesultanan Aceh
Disebutkan bahwa saat Sultan Aceh yang juga bergelar Sultan Saidil Mukamil
usianya mencapai 100 tahun dan kondisinya melemah, sehingga membutuhkan
bantuan dari orang terpecaya yang diwakilkan untuk mengelola Kesultanan Aceh.
Dipilih lah Laksamana Malahayati sebagai orang terpecaya itu, yang dapat
dikatakan Malahayati resmi menjadi orang nomor dua di Kesultanan.
Laksamana Malahayati diberikan wewenang untuk mengatur pemerintahan, dia akan
memerintah atas nama Sultan. Dengan begitu, semua pihak seperti para pejabat,
angkatan perang dan lainnya tunduk kepada Laksamana Malahayati.
Dengan wewenang yang sebesar itu, andaikan Laksamana Malahayati punya niat
buruk tentunya dia bisa bertindak licik lalu mengangkat dirinya sendiri
sebagai Sultanah. Akan tetapi Laksamana Malahayati adalah sosok yang pemberani
dan memiliki kebaikan hati, sehingga dirinya tidak punya pemikiran jahat
seperti itu.
Ujian berat datang tatkala Pangeran Mahmud Syah mencoba mengumpulkan kekuatan
untuk mengkudeta Sultan. Pangeran Mahmud Syah adalah putra Sultan Saidil
Mukamil.
Perpecahan di dalam tubuh Kesultanan Aceh berawal pada tahun 1588, dimana
Majelis Kerajaan melantik Sultan Sidi Mukamil menjadi sultan, dan menetapkan
Iskandar Muda. Hal ini membuat Pangeran Mahmud Syah sakit hati. Laksamana
Malahayati didekatinya agar mendukung pemberontakan, tentu saja sang laksamana
menolaknya mentah-mentah.
Gagal mendapatkan dukungan dari Laksamana Malahayati, Pangeran Mahmud Syah pun
melobi Majelis Kerajaan tapi berujung penolakan. Akhirnya Pengeran Mahmud Syah
mengumpulkan kekuatan besar-besaran untuk mengkudeta Sultan dengan cara
kekerasan. Ia akan merebut kekuasaan Aceh sebelum Pangeran Iskandar Muda
dinobatkan menjadi Sultan.
Pada bulan Juli 1604 dalam sebuah pertemuan yang di dalamnya ada Sultan dan
para pembesar, secara tiba-tiba para loyalis Pengeran Mahmud Syah menerobos
dan melucuti pihak Kesultanan. Orang-orang yang dianggap pengganggu ditangkap,
kemudian Pangeran Mahmud Syah memploklamirkan dirinya sebagai Sultan Aceh.
Laksamana Malahayati bersama perwira angkatan perang Aceh ditawan dan
dipenjarakan, begitu juga putra mahkota Pangeran Iskandar Muda dipenjarakan
bersama Laksamana Malahayati. Adapun Sultan Saidil Mukamil ditawan dan setahun
kemudian wafat.
Laksamana Malahayati bersama Pangeran Iskandar Muda berhasil meloloskan diri
ke Pidie dengan bantuan dari pengikut-pengikutnya yang setia. Wali negeri
Pidie, yang merupakan adik Sultan Mahmud Syah, tidak setuju dengan tindakan
kudeta yang dilakukan kakaknya itu.
Banyak pihak yang marah dan tidak setuju dengan tindakan Sultan Mahmud Syah,
sehingga Laksamana Malahayati diminta untuk melancarkan perang terhadap Sultan
Mahmud Syah. Akan tetapi Laksamana Malahayati menolak permintaan itu dan
beralasan jika dilakukan perang terbuka maka di Aceh akan terjadi perang
saudara.
Laksamana Malahayati berada di Pidie selama tiga tahun, dengan kondisi
kesehatannya yang semakin menurun. Di negeri Pidie, Malahayati mengamati
perkembangan Kesultanan Aceh dari jauh.
Melihat situasi Kesultanan Aceh yang terpecah-belah dan melemah, Portugis
ingin memanfaatkan situasi itu. Portugis mengirim utusan ke Pidie di bawah
pimpinan Don Gonzales untuk menemui Laksamana Malahayati. Portugis
berpura-pura bermaksud baik dengan menawarkan bantuan, tapi Laksamana
Malahayati punya kecerdasan dan firasat yang tajam sehingga tidak termakan
dengan jebakan Portugis.
Tawaran dari Portugis ditolak mentah-mentah, dan Laksamana Malahayati
mengancam Portugis untuk jangan ikut campur urusan dalam negeri Kesultanan
Aceh, utusan Portugis itupun pulang dengan tangan hampa.
Pada bulan Juni 1607, Portugis menyerang Kesultanan Aceh dengan kekuatan 17
kapal perang menuju perairan Banda Aceh. Portugis mengira bahwa tidak mungkin
Laksamana Malahayati sudi membantu Sultan Mahmud Syah. Pada awal Juli 1607,
pasukan Portugis sudah mendarat dan menguasai beberapa wilayah kerajaan Aceh.
Saat itu Laksamana Malahayati sedang dalam kondisi sakit, ketika mendengar
Portugis telah berhasil mendaratkan pasukannya di wilayah Kesultanan,
tiba-tiba Laksamana Malahayati bangkit dengan motivasi tinggi seolah-olah
penyakitnya hilang.
Dengan cepat Laksamana Malahayati menyusun dan menggerakkan pasukan yang loyal
padanya. Malahayati berpidato agar para pasukan berfokus untuk mengusir bangsa
penjajah Portugis dari bumi Aceh dan melupakan pertikaian dengan Sultan Mahmud
Syah.
Pasukan dipimpin oleh perwira-perwira kepercayaan Laksamana Malahayati
menyerang ke wilayah Aceh yang telah dikuasai Portugis. Laksamana Malahayati
dengan penuh keteguhan dan menahan rasa sakitnya memimpin armada Aceh dari
kapal perang komandonya, yaitu Kuta Alam.
Akhirnya kekuatan Portugis di Aceh berhasil dikalahkan, pihak Portugis tidak
menyangka bahwa akan mendapat serangan tiba-tiba dari armada Laksamana
Malahayati. Setelah berhasil mengusir Portiugis, diketahui bahwa Sultan Mahmud
Syah wafat tanpa diketahui sebab yang jelas.
Dengan wafatnya Sultan Mahmud Syah, maka terjadi kekosongan kekuasaan di
Kesultanan Aceh, maka Majelis Kesultanan yang pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Syah dibekukan dengan cepat diaktifkan kembali.
Maka dilakukanlah sidang untuk mengangkat Sultan yang baru, hasil sidang
menyatakan untuk mengangkat Pangeran Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh yang
kedua puluh. Pada saat pelantikannya, Laksamana Malahayati datang dengan cara
dipapah, setelah acara selesai Laksamana Malahayati meminta untuk dibawa ke
kapal komandonya, Kuta Alam, yang saat itu sedang bersandar di pelabuhan Ulee
Lheu. Laksamana Malahayati berada di atas kapal Kuta Alam sampai akhir
hayatnya.
Kelak, Sultan Iskandar Muda menjadi Sultan terbesar dalam sejarah Aceh dan
Nusantara, pada masanya Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya.
Laksamana Malahayati Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional pada 2017
Peran Malahayati berpengaruh besar terhadap bangkitnya orang-orang Aceh
berjuang dan melawan penjelajah Eropa, perjuangan Malahayati menjadi bagian
dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Setelah lama dilupakan, sekitar 400
tahun setelah kematiannya, Malahayati resmi ditetapkan sebagai pahlawan
nasional pada tanggal 9 November 2017.
Presiden Jokowi mengumumkannya di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat,
Kamis (9/11/2017). Di tahun 2017 ada empat sosok baru yang ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional.
Selain Laksamana Malahayati dari Aceh, nama lainnya yaitu:
- Mahmud Riayat Syah (1756-1812) dari Kepri, sosok yang konsisten melawan penjajahan, pada 1782 berhasil menenggelamkan kapal Belanda.
- Zainuddin Abdul Madjid (1898-1997) dari NTB, seorang ulama karismatik.
- Lafran Pane dari Yogyakarta (1922-1991), pendiri HMI dan tokoh muda perintis kemerdekaan.
Perwakilan ahli waris dari keempat tokoh tersebut menerima plakat Pahlawan
Nasional dari Presiden Jokowi. Penetapan keempat tokoh ini berdasarkan Kepres
No 115/TK/Tahun 2017. Surat keputusan ditandatangani Presiden Jokowi pada 6
November 2017.
Prosesi penyerahan plakat Pahlawan Nasional juga dihadiri Wapres Jusuf Kalla,
para menteri Kabinet Kerja, dan beberapa tokoh nasional.
Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Laksamana
Malahayati, seorang perempuan pejuang dari Kesultanan Aceh, keberanian dan
perjuangannya merupakan turunan dari keluarganya yang merupakan bangsawan
besar, ayahnya yang bernama Mahmud Syah merupakan laksamana angkatan laut.
Dari sang ayah inilah, Malahayati sangat tertarik dengan dunia militer
angkatan laut.
Selain dinamakan sebagai nama jalan di banyak wilayah di Indonesia, nama
Malahayati juga diabadikan dalam banyak hal, seperti:
- Pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar, dinamakan dengan Pelabuhan Malahayati.
- Sebuah Universitas di Bandar Lampung dinamakan dengan Universitas Malahayati.
- Salah satu kapal perang jenis fregat milik TNI AU dinamakan dengan KRI Malahayati.
Mengingat sosok Laksamana Malahayati membuat mata jadi berkaca-kaca dan hati
bergetar. Jika membandingkan semangat juang Laksamana Malahayati dengan
pemuda-pemudi di zaman sekarang, menjadi sedih rasanya. Bagaimana tidak, kita
lihat sendiri pemuda-pemudi di zaman sekarang begitu rapuh, lemah, tidak
memiliki semangat juang dan begitu mudah terprovokasi.
Laksamana Malahayati punya keyakinan kuat kepada Allah bahwa Dia-lah yang
menjaga hamba-hambanya yang bertaqwa dan dan beramal sholeh. Sejak masih
kecil, di dalam hatinya sudah tertanam semangat juang tinggi, keimanan dan
kebaikan.
Adapun pemuda-pemudi di zaman sekarang telah pudar keyakinannya kepada Allah,
tidak lagi kuat beribadah walaupun sekedar sholat 5 menit, sehingga
terombang-ambing dalam kebingungan dan hidup tanpa punya prinsip. Alhasil di
abad ke-21 ini, Bumi Indonesia hanya melahirkan generasi yang rapuh, yang
tidak bisa dibanggakan.
Populasi Indonesia sekitar 280 juta jiwa, negara dengan penduduk terbesar
dunia peringkat empat, akan tetap tidak ada karya yang bisa dibanggakan di
dunia internasional, kalaupun ada itu terlalu sedikit, kalah jauh dengan
negara lain yang populasinya jauh lebih rendah. Mengapa begitu? Itu karena
rapuhnya dan rendahnya semangat juang, serta jauhnya hati terhadap penyembahan
kepada Allah yang masa esa.
Pertolongan Allah akan datang jika rakyat Indonesia beriman dan beramal
sholeh, apalagi Indonesia kaya akan sumber daya alam, maka hal yang sangat
mudah bagi Allah menjadikan negara seperti Amerika Serikat segan kepada
Indonesia.
Indonesia dalam sejarahnya memiliki tokoh-tokoh besar yang begitu disegani
dunia, apalagi jika ditambah tokoh-tokoh Islam sejak 1400 tahun yang lalu.
Hanya saja para penerusnya di masa sekarang benar-benar lupa atau tidak
peduli, sehingga kehilangan arah tujuan hidup, yang mungkin isi pikirannya
hanya makan, tidur dan bermain-main.
Dampaknya bangsa Indonesia yang besar tidak disegani dunia internasional, kita
tidak bisa diam akan hal ini, kita adalah bangsa besar dan bukan bangsa budak,
sejak dulu kita sudah menjadi bangsa yang berdaulat dan diakui eksistensinya.
Wilayah Nusantara memang pernah terjajah, itu karena rakyat dan bangsawannya
tidak lagi mengutamakan kepentingan bersama, semuanya mengutamakan diri
masing-masing, tidak peduli satu sama lain, mengumpulkan harta seakan-akan
dibawa mati. Dampaknya terlalu sedikit orang yang mau berkorban untuk
kepentingan bersama, alhasil bangsa barat bisa dengan mudah menguasai
nusantara.
Rakyat Indonesia harus bekerja sama untuk saling membangun dan tolong menolong
sehingga negara Indonesia menjadi solid, maka harkat dan martabat bangsa tidak
akan diinjak dan dihina bangsa lain. Rakyat Indonesia harus mencontoh kuatnya
dan semangatnya tokoh-tokoh besar dan mulia di masa lalu.
Tulisan Terkait: